Jakarta Kota Global: DPRD Desak UU Kekhususan Pasca Perpres 79

Jakarta kini memasuki era krusial pascapenerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025. Aturan yang memutakhirkan rencana kerja pemerintah 2025 dan dipublikasikan akhir September lalu ini, salah satunya menggarisbawahi rencana kepindahan Ibu Kota Negara ke IKN Nusantara pada 2028. Realisasi ini menandakan babak baru bagi Jakarta, menuntut transformasi fundamental dari status sebelumnya.

Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, Mujiyono, menegaskan bahwa komitmen pemerintah pusat terhadap pembangunan IKN di Kalimantan Timur harus menjadi perhatian serius bagi Jakarta. Menurutnya, Perpres 79 Tahun 2025 bukan sekadar penegasan pemindahan ibu kota, melainkan sinyal kuat akan perubahan paradigma besar bagi Jakarta. Kota ini didorong untuk melepaskan diri dari identitas sebagai pusat pemerintahan dan bergerak menjadi kota jasa global yang kompetitif, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Pernyataan tersebut disampaikannya kepada Katadata.co.id pada Kamis (9/10).

Dalam Perpres tersebut juga disebutkan, pembangunan IKN akan berfokus pada percepatan infrastruktur dasar dan menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8% pada tahun 2025. Konsekuensinya, Jakarta harus secara mandiri menata diri tanpa bergantung pada status administratifnya yang lama. Ini berarti Jakarta harus proaktif mencari identitas dan fungsi baru yang strategis di kancah global.

Mujiyono menjabarkan beberapa agenda penting yang tidak bisa ditawar jika Jakarta bertekad menjadi kota global yang sesungguhnya. Salah satunya adalah percepatan pembangunan dan integrasi transportasi publik. Ia menekankan pentingnya segera mewujudkan integrasi MRT Fase 3 dan 4, LRT, BRT, hingga JakLingko agar warga dapat bergerak cepat, murah, dan nyaman di seluruh penjuru kota. Selain itu, ketersediaan hunian layak bagi masyarakat menengah ke bawah menjadi prioritas, dengan perluasan skema rumah susun dan hunian vertikal rakyat guna mencegah penggusuran warga kecil. Pemerintah juga perlu memberikan perhatian serius pada puluhan ribu UMKM, mendorong mereka untuk merambah pasar digital dan global demi pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Aspek lingkungan juga menjadi sorotan tajam. “Banjir dan polusi tidak boleh lagi menjadi ‘citra buruk’ Jakarta,” tegas Mujiyono. Ia menggarisbawahi perlunya penanganan serius terhadap sungai dan waduk, penguatan sistem pompa, serta penekanan angka polusi melalui penggunaan transportasi listrik dan pembatasan kendaraan pribadi. Langkah-langkah ini krusial untuk menciptakan lingkungan hidup yang lebih baik dan berkelanjutan di ibu kota.

Namun, visi menjadikan Jakarta sebagai Kota Global tidak datang tanpa tantangan besar, khususnya terkait kemampuan fiskal daerah yang justru semakin terbatas. Mujiyono menyoroti pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Jakarta sekitar Rp15 triliun, menyebabkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) turun dari Rp95 triliun menjadi Rp79 triliun. Padahal, hanya untuk subsidi transportasi publik saja, Jakarta membutuhkan sekitar Rp6 triliun per tahun agar tarif tetap terjangkau oleh masyarakat.

“Ruang fiskal kita semakin sempit. Ada kontradiksi yang harus dijawab pusat. Di satu sisi Jakarta diminta menjadi kota global, tapi di sisi lain ‘bahan bakarnya’ justru dikurangi,” ujar Mujiyono. Oleh karena itu, ia menilai Jakarta membutuhkan Undang Undang Kekhususan yang benar-benar memberikan keleluasaan dan kewenangan baru, bukan sekadar mengatur perubahan administrasi. Menurutnya, UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta dinilai belum cukup menjawab tantangan berat sebagai kota global.

Yang dimaksud dengan Undang Undang Kekhususan Jakarta adalah payung hukum baru yang memberi Jakarta kewenangan lebih luas dan fleksibel. Mujiyono mengusulkan agar Jakarta diberi ruang fiskal, investasi, dan tata kelola yang lebih mandiri untuk bersaing dengan kota-kota metropolitan seperti Singapura dan Kuala Lumpur. Ini mencakup kewenangan mengelola pajak tambahan dan sumber pendapatan khusus, penggunaan instrumen pembiayaan kreatif seperti obligasi daerah atau kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU), penyederhanaan perizinan, serta pemberian insentif bagi investor global. Selain itu, Jakarta juga perlu memiliki keleluasaan untuk membuat kebijakan cepat di bidang transportasi, lingkungan, dan digitalisasi layanan publik tanpa harus menunggu birokrasi pusat yang panjang.

Mujiyono menegaskan bahwa tanpa adanya keleluasaan sebagai bentuk kekhususan ini, maka visi Jakarta menjadi kota global hanya akan berakhir sebagai jargon semata. Ia pun mendesak pemerintah pusat bersama DPR untuk segera melakukan pembahasan atas revisi undang-undang guna mewadahi kekhususan Jakarta yang esensial ini demi masa depan kota.

Ringkasan

Menyusul terbitnya Perpres 79 Tahun 2025 dan rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke IKN, Jakarta menghadapi transformasi menjadi kota jasa global. DPRD DKI Jakarta mendesak perlunya Undang-Undang Kekhususan untuk memberikan Jakarta kewenangan yang lebih luas, terutama dalam hal fiskal dan tata kelola, agar dapat bersaing di kancah global.

Fokus utama untuk mencapai status kota global mencakup percepatan pembangunan transportasi publik terintegrasi, penyediaan hunian layak, dukungan bagi UMKM, dan penanganan masalah lingkungan seperti banjir dan polusi. Namun, pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH) menjadi kendala, sehingga UU Kekhususan diharapkan memberikan Jakarta keleluasaan fiskal dan kewenangan baru yang belum diakomodasi oleh UU Nomor 2 Tahun 2024.