Melihat potensi arus dana asing usai The Fed pangkas suku bunga

Ifonti.com – JAKARTA. Pasar saham dalam waktu dekat diprediksi masih belum akan mendapat tambahan aliran dana asing seusai bank sentral Amerika Serikat (AS) alias Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga sebesar 25 bps ke level 3,50%-3,75%.

Asal tahu saja, ini merupakan pemangkasan Fed Rate yang ketiga sepanjang tahun 2025 setelah dilakukan pada September dan Oktober lalu. Suku bunga The Fed saat ini adalah yang terendah sejak September 2022, atau lebih dari tiga tahun terakhir.

Sayangnya, di tengah pemangkasan suku bunga The Fed, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) malah parkir di zona merah. Kamis (11/12/2025), IHSG ditutup turun 0,92% ke level 8.620,48 pada akhir perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Aliran dana asing juga terpantau keluar Rp58,2 miliar hari ini di pasar reguler. Sejak awal tahun 2025, aliran dana asing sudah keluar Rp 43,20 triliun year to date (YTD) di pasar reguler.

IHSG Koreksi Usai The Fed Pangkas Suku Bunga, Ini Proyeksinya Besok (12/12)

Tim Riset Samuel Sekuritas Indonesia mengatakan, pemangkasan suku bunga The Fed di bulan Desember 2025 ini memperkuat siklus pelonggaran yang lambat namun stabil, meskipun nada kebijakan masih jauh dari dovish.

Proyeksi pasar tetap tidak berubah, The Fed masih mengisyaratkan hanya satu pemotongan lagi pada tahun 2026. Ini menggarisbawahi pelonggaran yang terkontrol dan terfokus di awal, bukan perubahan arah kebijakan.

“Secara global, ini menyiratkan sedikit penurunan imbal hasil jangka pendek tetapi suku bunga riil yang masih positif, menjaga kondisi keuangan tetap stabil daripada bersifat stimulatif,” katanya dalam riset yang diterima Kontan, Kamis (11/12/2025).

Pemangkasan fed rate memberi ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk ikut menurunkan suku bunga. Namun, BI kemungkinan tak leluasa menurunkan suku bunga lantaran rupiah masih tertekan.

“Tekanan nilai tukar yang meningkat, yang didorong oleh penguatan dolar Amerika Serikat (AS) di akhir tahun atau risiko geopolitik, dapat menyebabkan BI tunda pemangkasan suku bunga untuk melindungi rupiah,” katanya.

Senada, Riset BRI Danareksa Sekuritas mengatakan, pemangkasan suku bunga The Fed memang meredakan tekanan global. Namun, karena The Fed tidak agresif, dolar AS pun belum melemah signifikan. 

Rupiah masih sensitif, sehingga membuat aliran dana asing ke IHSG tidak stabil. Kondisi ini menahan potensi relief rally di pasar domestik dalam waktu dekat.

Hari ini, rupiah di pasar spot hanya mampu menguat tipis 0,07% menjadi Rp 16.676 per dolar AS. Sementara, rupiah JISDOR menguat 0,12% menjadi Rp 16.668 per dolar AS.

“Kenaikan IHSG belakangan ini disebabkan oleh aksi korporasi emiten, kebijakan dari pemerintah Indonesia, dan juga rilis data dalam negri yang solid,” kata riset yang diterima Kontan, Kamis.

Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto melihat, pemangkasan Fed Rate kali ini cenderung lebih ke “hawkish cut“. Sebab, The Fed melakukan pemangkasan suku bunga secara terbatas, sebesar 25bps, tetapi memberikan sinyal akan pemangkasan yang lebih terbatas.

“Di pasar saham, dalam beberapa waktu terakhir ada inflow asing, sementara di SBN kepemilikan asing porsinya terus menurun,” katanya kepada Kontan, Kamis (11/12/2025).

Peluang IHSG Tembus Level 9.000 Masih Terbuka Meski Tertekan Sinyal Hawkish The Fed

Kepala Riset Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI) Muhammad Wafi mengatakan, pemangkasan fed rate bisa berdampak positif ke pasar saham, tetapi tak otomatis membuat asing masuk ke IHSG.

Investor asing tetap selektif, karena emerging market (EM) lain punya likuiditas lebih besar dan risiko mata uang yang lebih kecil. 

“Misalnya saja, India, Singapura, dan Korea Selatan. IHSG tetap menarik jika rupiah stabil, BI ikut menurunkan suku bunga, dan fiskal di tahun 2026 solid,” katanya kepada Kontan, Kamis (11/12).

Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata mengatakan, pemangkasan Fed Rate pada akhir tahun 2025 memang membuka peluang arus masuk ke emerging markets (EM) karena risk-premia otomatis turun. 

Namun, investor asing tidak otomatis masuk ke Indonesia. Sebab, mereka akan membandingkan imbal hasil riil, stabilitas mata uang, dan kejelasan arah kebijakan fiskal/moneter di tiap negara. 

“Saat ini, India, Brazil, dan Meksiko punya daya tarik kuat karena kombinasi pertumbuhan yang premium serta stabilitas mata uang yang relatif lebih baik pada 2025,” ujarnya kepada Kontan, Kamis.

Sebenarnya, Indonesia tetap kompetitif, tetapi butuh konfirmasi dua hal. Yaitu, rupiah stabil pasca penguatan indeks dolar AS dan arah BI yang lebih sinkron dengan easing global. 

“Jika dua kotak ini tercentang, potensi net buy mulai terbuka lagi di ekuitas,” ungkapnya.

Prospek dan Rekomendasi Saham  

Rully melihat, sektor saham yang menarik dilirik pasca pemangkasan suku bunga The Fed adalah sektor komoditas, terutama emas, poultry, dan telekomunikasi.

Liza mengatakan, tekanan outflow asing sepanjang tahun 2025 berasal dari tiga faktor besar. Yaitu, ekspektasi The Fed yang lama hawkish, lonjakan imbal hasil US Treasury, dan pelemahan rupiah yang membuat perlindungan nilai (hedging) menjadi mahal. 

Selain itu, profit-taking pada emiten big caps yang sudah naik tinggi dan aliran dana global yang condong ke pasar berkembang besar juga berperan. 

Untuk membalik situasi menjadi net buy, pasar butuh kombinasi stabilitas rupiah, arah kebijakan fiskal yang kredibel, aksi korporasi besar yang menciptakan narasi rerating, serta sinyal Bank Indonesia mulai masuk fase easing. 

Dengan asumsi Fed memasuki siklus pemangkasan bertahap dan volatilitas global turun, peluang berbaliknya arus asing pada 2026 cukup terbuka.

  BBCA Chart by TradingView  

“Terutama jika IHSG menunjukkan earnings growth yang solid dan valuasi kembali atraktif dibanding peers,” ungkapnya.

Sementara, Wafi berpandangan dalam beberapa waktu ke depan kemungkinan outflow asing lebih tinggi. Alasannya adalah volatilitas rupiah terhadap dolar AS, harga komoditas yang mixed, valuasi big banks mahal di awal tahun, dan ketidakpastian transisi politik. 

Untuk membalik kondisi menjadi net buy, asing membutuhkan kepastian kebijakan easing dari The Fed easing secara konsisten, mulai turunnya BI rate, arah fiskal dan langkah Danantara yang semakin jelas di tahun 2026, serta membaiknya pertumbuhan pendapatan emiten big caps.

“Di tahun 2026, peluang net buy asing lebih besar, karena kombinasi global easing dan stabilitas domestik,” ungkapnya.

Menurut Wafi, biasanya investor asing akan masuk ke saham big caps dengan likuiditas tinggi.

Misalnya, sektor perbankan (BBCA, BMRI, dan BBRI) jika valuasi kembali murah, telekomunikasi dan tower (TLKM dan TOWR) yang punya arus kas kuat, consumer staples (ICBP dan INDF) di saat rupiah stabil, materials (INKP dan TKIM) ketika China memberikan stimulus ekonomi yang bisa mengangkat permintaan pulp and paper, serta energy transition plays (MEDC dan MBMA) yang didorong narasi ESG atau mineral strategis.

Wafi pun merekomendasikan beli untuk BBCA, BMRI, TOWR, ICBP, MEDC, dan INKP dengan target harga masing-masing Rp 9.000 per saham, Rp 5.4000 per saham, Rp 600 per saham, Rp 11.500 per saham, Rp 1.600 per saham, dan Rp 11.500 per saham.