Minyak Anjlok! Emiten Migas Terancam? Cek Faktanya!

Pergerakan harga minyak mentah dunia yang cenderung melemah belakangan ini menghadirkan tantangan signifikan bagi prospek kinerja emiten produsen minyak dan gas (migas) di Tanah Air. Kendati demikian, tingginya kebutuhan energi di dalam negeri berpotensi menjadi penopang dan katalis positif yang menjaga keberlangsungan usaha mereka.

Berdasarkan data terkini dari Trading Economics, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) tercatat di level US$ 62,74 per barel pada Rabu (13/8) pukul 18.40 WIB. Angka ini menunjukkan pelemahan 0,67% dibandingkan hari sebelumnya, serta merosot 6,29% dalam kurun waktu satu bulan terakhir. Senada, harga minyak mentah jenis Brent juga mengalami koreksi sebesar 0,52%, mencapai level US$ 65,77 per barel pada tanggal yang sama, dengan penurunan 4,96% dalam sebulan terakhir.

Secara makro, Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, menguraikan bahwa penurunan harga minyak saat ini terutama dipicu oleh peningkatan pasokan global yang tidak diimbangi oleh permintaan. Produksi minyak Amerika Serikat (AS) dilaporkan kembali mencetak rekor, sementara OPEC+ secara bertahap melanjutkan penambahan produksi seiring berakhirnya kebijakan pemangkasan sukarela. “Alhasil, risiko kelebihan pasokan di pasar semakin tinggi,” terang Ekky pada Rabu (13/8).

Chief Executive Officer (CEO) Edvisor Provina Visindo, Praska Putrantyo, menambahkan bahwa kekhawatiran terhadap kebijakan tarif AS masih membayangi. Kebijakan ini dinilai berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi global, yang pada gilirannya dapat menyebabkan permintaan minyak merosot. Dalam kondisi harga minyak yang rendah, emiten migas seperti PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), PT Rukun Raharja Tbk (RAJA), dan PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU) diproyeksikan akan terdampak negatif, sebab profitabilitas mereka terancam tertahan.

Sebagai langkah antisipasi strategis, emiten produsen migas memiliki opsi untuk memaksimalkan fasilitas hedging atau lindung nilai guna memitigasi risiko fluktuasi harga. Selain itu, mereka juga dapat mempertimbangkan pengaturan ulang capital expenditure (capex) agar arus kas perusahaan tetap terjaga. “Diversifikasi sumber pendapatan ke industri gas bumi atau energi terbarukan juga bisa menjadi solusi proaktif,” ujar Praska, Rabu (13/8).

Sementara itu, Ekky memperkirakan bahwa harga minyak cenderung akan bergerak netral, berada di kisaran US$ 60—64 per barel untuk sisa tahun ini, dengan asumsi pasokan produk tersebut terus meningkat. Namun, prediksi ini sangat rentan terhadap dinamika geopolitik yang berpotensi mengganggu pasokan global. Sebagai ilustrasi, pada Juni lalu, harga minyak mentah sempat melonjak signifikan hingga di atas US$ 70 per barel di tengah sentimen konflik bersenjata antara Iran dan Israel, menunjukkan sensitivitas pasar terhadap isu-isu non-ekonomi.

Di luar faktor harga komoditas, beberapa sentimen lain juga diperkirakan akan memengaruhi kinerja emiten migas pada semester II. Dari sisi positif, kebijakan pemerintah menunjukkan dukungan kuat terhadap industri hulu migas, antara lain melalui pelaksanaan lelang wilayah kerja (WK) baru dan penguatan implementasi teknologi pengeboran minyak. Beberapa proyek migas yang mulai beroperasi (on-stream), termasuk milik MEDC dan ENRG, juga menjadi katalis positif. Kebijakan-kebijakan ini diharapkan mampu mendorong peningkatan produksi migas dan pada saat yang sama meningkatkan kepercayaan investor.

“Selain itu, agenda ketahanan energi nasional, dengan target peningkatan lifting minyak menjadi 1 juta BOPD pada 2029/2030, serta pembangunan kilang minyak dan proyek LNG domestik, dapat menjadi katalis positif yang kuat jika eksekusinya berjalan baik,” ungkap Ekky. Di sisi lain, kinerja emiten migas dapat meredup jika terjadi kenaikan biaya operasional di tengah tekanan margin laba. “Kondisi pertumbuhan ekonomi yang melemah juga akan menyebabkan permintaan minyak turun,” imbuh Praska.

Di antara berbagai emiten migas, Praska merekomendasikan saham MEDC untuk dicermati oleh investor, dengan target harga Rp 1.400 per saham. Senada, Ekky juga menilai saham MEDC menarik untuk dikoleksi, menargetkan harga di kisaran Rp 1.500—1.700 per saham. MEDC dinilai berpeluang menjadi unggulan di sektor migas berkat dukungan peningkatan produksi dari lapangan migas baru, efisiensi operasional, dan potensi stabilitas harga minyak yang akan mendukung perusahaa.

Meskipun demikian, kinerja MEDC pada semester I tercatat terkoreksi. Pendapatan perusahaan menurun 2,56% secara year on year (yoy) menjadi US$ 1,14 miliar. Laba bersih MEDC juga mengalami kontraksi tajam sebesar 81,52% yoy, menjadi US$ 37,37 juta. Data ini menggarisbawahi tantangan yang dihadapi emiten di tengah volatilitas pasar komoditas global.

Ringkasan

Harga minyak mentah dunia yang melemah menjadi tantangan bagi emiten migas di Indonesia, seperti MEDC, ENRG, RAJA, dan RATU, karena berpotensi menekan profitabilitas. Penurunan harga minyak disebabkan oleh peningkatan pasokan global dan kekhawatiran terhadap kebijakan tarif AS yang dapat mengganggu ekonomi global. Emiten dapat mengantisipasi hal ini dengan memaksimalkan fasilitas hedging, mengatur ulang capital expenditure, atau diversifikasi ke gas bumi dan energi terbarukan.

Meskipun harga minyak berpotensi menekan kinerja, dukungan pemerintah terhadap industri hulu migas, proyek migas yang mulai beroperasi, dan agenda ketahanan energi nasional menjadi katalis positif. Saham MEDC direkomendasikan oleh analis, namun kinerja perusahaan pada semester I mengalami penurunan. Investor perlu mencermati faktor harga komoditas dan sentimen lain yang dapat memengaruhi kinerja emiten migas.