Ifonti.com JAKARTA. Pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis dalam upaya mitigasi perubahan iklim dengan meresmikan regulasi pajak karbon. Presiden Prabowo secara resmi mengatur mekanisme pajak karbon melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional. Analisis para ahli menunjukkan bahwa terbitnya peraturan ini berpotensi besar untuk meningkatkan likuiditas perdagangan di bursa karbon.
Secara lebih rinci, berdasarkan Pasal 83 PP tersebut, pajak karbon kini dapat dikenakan terhadap pemanfaatan energi tak terbarukan. Ini mencakup sumber-sumber utama seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian namun juga penyumbang emisi terbesar.
Tak hanya itu, Pasal 84 dari kebijakan ini turut membuka pintu bagi pemberian insentif atau skema pembayaran berbasis kinerja (result-based payment). Insentif ini diperuntukkan bagi para pelaku industri yang berhasil menunjukkan komitmen nyata dalam mengurangi emisi melalui mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK), memberikan dorongan positif bagi transisi menuju energi yang lebih bersih.
Hendra Wardana, seorang analis terkemuka sekaligus Founder Stocknow.id, menyoroti bahwa kebijakan baru ini akan membawa dampak transformatif pada perkembangan perdagangan karbon di Indonesia. Dampak signifikan ini, menurutnya, akan sangat terasa khususnya pada bursa karbon yang kini dioperasikan oleh IDX Carbon.
“Dengan hadirnya kepastian hukum yang kuat ini, pasar karbon yang sebelumnya cenderung terbatas kini mendapatkan fondasi regulasi yang kokoh untuk bertumbuh pesat,” jelas Hendra kepada KONTAN, Selasa (21/10/2025). Ia menambahkan, regulasi ini akan menempatkan pasar karbon sebagai instrumen vital dalam membiayai upaya transisi energi hijau di tanah air.
Dalam praktiknya, Hendra menguraikan bahwa kebijakan ini akan secara langsung mengakselerasi aktivitas perdagangan karbon. Pelaku usaha kini dihadapkan pada dua pilihan strategis yang jelas: pertama, membayar pajak karbon jika mereka tetap bergantung pada energi fosil; atau kedua, mengompensasi emisi mereka dengan membeli kredit karbon dari berbagai proyek hijau yang berhasil menurunkan emisi.
Kondisi ini, menurut Hendra, secara alami akan menciptakan permintaan riil yang stabil terhadap kredit karbon, sehingga mendorong terbentuknya harga pasar yang lebih transparan dan wajar. Lebih jauh lagi, skema ini diharapkan dapat meningkatkan peran sektor swasta dalam mendanai proyek hijau. Selain itu, dengan kerangka kebijakan yang semakin jelas, baik investor domestik maupun asing akan merasa lebih percaya diri untuk berpartisipasi, mengingat risiko regulasi yang cenderung menurun.
Likuiditas bursa karbon
Dari perspektif bursa karbon, Hendra menilai bahwa kejelasan regulasi ini menyimpan potensi besar untuk mendorong peningkatan likuiditas perdagangan secara signifikan. Beberapa faktor utama yang akan menjadi pendorongnya adalah:
Pertama, adanya kewajiban yang tegas dan insentif yang menarik bagi para pelaku industri. Ini berarti transaksi kredit karbon tidak lagi sekadar inisiatif sukarela, melainkan menjadi bagian integral dari strategi bisnis.
Kedua, Hendra memprediksi semakin banyaknya perusahaan di sektor energi, manufaktur, dan pertambangan yang akan mengintegrasikan strategi dekarbonisasi ke dalam model bisnis inti mereka. Hal ini akan memicu lebih banyak aktivitas jual-beli kredit karbon.
Ketiga, akan terjadi peningkatan minat dari lembaga keuangan untuk menyediakan produk derivatif atau pembiayaan inovatif yang berbasis karbon, menambah dimensi baru pada ekosistem bursa karbon.
“Dengan sinergi dari berbagai faktor tersebut, bursa karbon Indonesia memiliki peluang emas untuk berkembang pesat di kawasan Asia Tenggara,” terang Hendra. Ia menambahkan bahwa hal ini sekaligus akan menjadikannya instrumen strategis yang krusial dalam mencapai target ambisius net zero emission pada 2060.
Sebagai informasi tambahan yang menunjukkan momentum positif ini, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat total nilai perdagangan karbon telah mencapai Rp 24,74 miliar atau setara dengan 696.763 tCO2e selama periode 1 Januari hingga 22 Agustus 2025. Angka ini mencerminkan pertumbuhan luar biasa sebesar 483% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2024, yang saat itu tercatat sebesar Rp 6,14 miliar atau 119.463 tCO2e.
Ringkasan
Pemerintah Indonesia telah meresmikan regulasi pajak karbon melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional. Regulasi ini memungkinkan pengenaan pajak karbon terhadap pemanfaatan energi tak terbarukan seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam, serta memberikan insentif bagi industri yang berhasil mengurangi emisi. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan likuiditas perdagangan di bursa karbon yang dioperasikan oleh IDX Carbon.
Menurut analis Hendra Wardana, hadirnya kepastian hukum ini akan mengakselerasi aktivitas perdagangan karbon, memaksa pelaku usaha untuk membayar pajak karbon atau membeli kredit karbon. Hal ini menciptakan permintaan riil terhadap kredit karbon dan meningkatkan peran sektor swasta dalam mendanai proyek hijau. Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat pertumbuhan nilai perdagangan karbon yang signifikan di tahun 2025, menunjukkan momentum positif.