Jakarta, IDN Times – Pasar tenaga kerja Amerika Serikat (AS) menunjukkan sinyal pelemahan yang mengkhawatirkan pada Agustus 2025. Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS) melaporkan pada Jumat (5/9/2025) bahwa perekonomian AS hanya berhasil menambah 22 ribu pekerjaan, angka yang jauh meleset dari perkiraan 75 ribu. Ini menandai laporan yang mengecewakan keempat secara beruntun, bahkan setelah data bulan Juni direvisi tajam menjadi minus 13 ribu, sebuah penurunan signifikan yang merupakan kali pertama sejak Desember 2020. Kondisi ini memperkuat kekhawatiran akan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Bersamaan dengan itu, tingkat pengangguran melonjak menjadi 4,3 persen, mencapai level tertinggi dalam empat tahun terakhir di luar periode pandemi Covid-19. Situasi ini langsung menarik perhatian para ahli ekonomi. Sarah House, seorang ekonom senior Wells Fargo, menyoroti pergeseran besar yang terjadi di lanskap ketenagakerjaan.
“Mesin pekerjaan yang telah menjadi bagian integral dari pertumbuhan ekonomi AS yang melampaui ekspektasi selama empat tahun terakhir kini sedang terhenti,” ujar House dalam catatannya, sebagaimana dikutip dari NBC News. Kelemahan ini tidak hanya sporadis, melainkan meluas ke berbagai sektor, menciptakan tantangan serius dan membuat pemulihan yang cepat menjadi semakin sulit. Akibatnya, investor dan pelaku usaha kini semakin diselimuti kewaspadaan terhadap prospek ekonomi AS ke depan.
1. Tarif Impor dan Pemangkasan Belanja Mencekik Perekonomian
Menurut laporan Politico, kombinasi antara suku bunga yang tinggi dan kebijakan tarif impor yang ekstensif dari Presiden AS, Donald Trump, telah menciptakan tekanan berat pada ekonomi AS, yang sangat bergantung pada konsumsi domestik. Upaya pemerintahan Trump untuk memberlakukan tarif besar-besaran terhadap impor, ditambah dengan pemotongan agresif pada belanja federal yang kini menghadapi gugatan hukum, telah menambah lapisan ketidakpastian yang signifikan. Lingkungan ekonomi seperti ini mempersulit para pelaku usaha untuk berinvestasi dan memperluas lapangan kerja, sehingga menghambat pertumbuhan.
Selain itu, kebijakan tarif juga kembali memicu kekhawatiran akan kenaikan harga yang berkelanjutan, meskipun inflasi telah menunjukkan penurunan dari puncaknya pada tahun 2022. Faktanya, tingkat inflasi masih bertahan di atas target 2 persen yang ditetapkan oleh Federal Reserve (The Fed). Dampak langsung dari kondisi ini paling terasa pada sektor manufaktur, yang sepanjang tahun ini telah kehilangan total 78 ribu pekerjaan.
Sektor-sektor lain yang sangat sensitif terhadap perdagangan internasional juga turut merasakan pukulan telak, termasuk industri pertambangan dan perdagangan grosir. Data menunjukkan bahwa pada bulan Agustus saja, 6 ribu pekerjaan lenyap di sektor minyak dan gas, serta 12 ribu di sektor manufaktur. Di sisi lain, beberapa sektor menunjukkan resiliensi: sektor kesehatan berhasil tumbuh 31 ribu pekerjaan, diikuti oleh bantuan sosial yang menambah 16 ribu pekerjaan. Sementara itu, konstruksi, ritel, jasa profesional, dan perhotelan juga mencatat kenaikan, meski dalam skala yang lebih kecil.
2. Berbagai Indikator Lain Mengisyaratkan Perlambatan Pasar Tenaga Kerja
Gejala pelemahan di pasar tenaga kerja sebenarnya sudah mulai terendus bahkan sebelum laporan resmi BLS dirilis. Pada Selasa (2/9), BLS juga melaporkan bahwa aktivitas perekrutan dan pemutusan kerja relatif stagnan pada Agustus dibandingkan bulan Juli, sementara jumlah lowongan pekerjaan menukik tajam ke titik terendah dalam 10 bulan terakhir. Ironisnya, di sisi lain, situs pencarian kerja Indeed justru mencatat adanya peningkatan bertahap iklan pekerjaan sejak pertengahan Juli.
Data yang dirilis oleh penyedia penggajian swasta, ADP, pada Kamis (4/9) semakin memperkuat sinyal perlambatan ini. ADP melaporkan bahwa hanya ada penambahan 54 ribu pekerjaan baru pada Agustus, jauh di bawah angka 106 ribu di bulan sebelumnya dan meleset dari ekspektasi pasar. Kondisi yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa lebih dari seperempat dari total pengangguran kini telah menganggur selama lebih dari enam bulan, proporsi tertinggi yang tercatat sejak Juni 2016.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga menunjukkan peningkatan signifikan, menurut laporan dari Challenger, Gray & Christmas. Jumlah pemutusan kerja melonjak 39 persen pada Agustus dibandingkan Juli, dengan total lebih dari 85 ribu posisi pekerjaan hilang. Secara kumulatif, sepanjang tahun ini, sudah ada 892 ribu pekerjaan yang dihapus, menjadikannya angka tertinggi sejak tahun 2020.
Challenger secara khusus menyoroti tren yang sangat mengkhawatirkan bagi sektor ritel.
“September biasanya adalah saat kami mulai melihat pengumuman perekrutan musiman yang besar, yang menunjukkan bagaimana ekspektasi peritel untuk musim libur. Setelah Agustus dengan rencana perekrutan terendah yang pernah tercatat, ini mungkin menjadi tanda yang sangat mengkhawatirkan,” demikian pernyataan Challenger, dikutip dari NBC News.
3. Pemecatan Kepala BLS dan Tekanan Politik Terhadap The Fed
Laporan pekerjaan yang jauh dari harapan ini muncul di tengah kontroversi, yakni tak lama setelah Presiden Trump memecat Komisaris BLS, Erika McEntarfer. Keputusan pemecatan tersebut diambil setelah adanya revisi signifikan pada data pekerjaan Mei dan Juni yang secara jelas menunjukkan pelemahan pasar tenaga kerja yang lebih parah dari perkiraan awal. Angela Hanks, dari The Century Foundation, mengecam langkah ini sebagai tindakan yang tidak proporsional dan tidak beralasan.
“Laporan pekerjaan ini juga menegaskan apa yang sudah kita ketahui – bahwa pemecatan Komisaris BLS Erika McEntarfer oleh Presiden Trump sama sekali tidak beralasan dan secara definisi adalah kasus menembak pembawa pesan,” tegas Hanks, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera.
Sebagai pengganti McEntarfer, Trump menunjuk E.J. Antoni dari Heritage Foundation, meskipun penunjukan ini masih menunggu konfirmasi dari Senat. Antoni sendiri telah menuai kritik tajam karena usulannya untuk menunda publikasi laporan bulanan, sebuah langkah yang dikhawatirkan dapat memicu kekacauan di pasar global. Situasi pasar tenaga kerja yang lesu pada Agustus ini semakin menempatkan Federal Reserve dalam dilema, di mana mereka harus menyeimbangkan upaya mengendalikan inflasi dengan kebutuhan untuk menopang pasar tenaga kerja yang melemah.
Gedung Putih secara terang-terangan dan berulang kali telah mendesak Ketua The Fed, Jerome Powell, untuk segera menurunkan suku bunga. Tekanan politik ini mencapai puncaknya dengan unggahan Trump di media sosial pada Jumat (5/9).
“Jerome ‘Terlambat’ Powell seharusnya sudah menurunkan suku bunga sejak lama. Seperti biasa, dia ‘Terlambat!’” tulis Trump, menunjukkan ketidakpuasannya secara publik.
Melihat kondisi ini, para investor kini secara luas memperkirakan bahwa pemangkasan suku bunga akan terjadi pada pertemuan Federal Reserve tanggal 16–17 September. Jika terjadi, ini akan menjadi pemotongan suku bunga pertama sejak Desember tahun lalu.
Scott Paul, dari Alliance for American Manufacturing, berpendapat bahwa laporan pekerjaan bulan Agustus seharusnya memicu dua langkah penting. Ia menegaskan bahwa Federal Reserve perlu segera memangkas suku bunga. Di samping itu, ia juga menekankan pentingnya penyelesaian kebijakan tarif dan perjanjian dagang yang stabil agar sektor bisnis mendapatkan kepastian yang dibutuhkan untuk merekrut karyawan baru, berinvestasi pada peralatan modal, dan menata ulang rantai pasok mereka secara efektif.
The Fed Buka Peluang Penurunan Suku Bunga
The Fed Akhiri Program Khusus Pengawasan Kripto dan Fintech Bank