Repo Obligasi Korporasi: Jurus BI Bikin Pasar Lebih Likuid!

Jakara, IDN Times – Bank Indonesia (BI) mengambil langkah progresif untuk memperkuat pasar keuangan domestik dengan mendiversifikasi instrumen dasar dalam transaksi repurchase agreement (repo) pada operasi moneternya. Kebijakan strategis ini diharapkan mampu mendorong korporasi untuk lebih aktif dalam menerbitkan obligasi, sekaligus menawarkan alternatif sumber pembiayaan yang lebih efisien bagi dunia usaha.

Kepala Grup Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas (DPMA) BI, Fitra Jusdiman, menjelaskan bahwa pengembangan pasar repo ini esensial untuk memperkuat dan memperdalam pasar keuangan, khususnya sektor obligasi korporasi sebagai pilar sumber pembiayaan ekonomi nasional. Sebelumnya, transaksi repo di BI secara eksklusif hanya dapat menggunakan surat berharga negara (SBN) sebagai underlying asset atau jaminan. Ini berarti, bank-bank yang membutuhkan dana likuiditas melalui repo harus menyertakan SBN sebagai agunan.

“Kami memperluas cakupan underlying repo yang dapat dimanfaatkan oleh bank. Pada tahap awal, fasilitas ini akan tersedia khusus bagi Dealer Utama (DU). Hanya DU yang kini berwenang melakukan transaksi repo, termasuk dengan menggunakan obligasi korporasi sebagai jaminan,” papar Fitra dalam taklimat media yang berlangsung pada Jumat (7/11/2025).

Dia menjelaskan, dalam praktik repo pada umumnya, Dealer Utama tidak hanya dapat menggunakan SBN yang dimiliki, tetapi juga obligasi korporasi sebagai underlying. Sebagai permulaan, Bank Indonesia akan menerima obligasi yang diterbitkan oleh PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) sebagai underlying repo. Fitra menambahkan bahwa BI telah menetapkan sejumlah kriteria untuk obligasi korporasi yang dapat diterima, meliputi peringkat kredit, tingkat likuiditas di pasar sekunder, serta reputasi lembaga penerbit. Kriteria ini memastikan kualitas dan keamanan instrumen yang digunakan.

Data yang diungkapkan BI menunjukkan bahwa likuiditas pasar sekunder untuk obligasi dan sukuk SMF jauh lebih tinggi dibandingkan Efek Beragun Aset (EBA) SMF. Pada Rencana Realisasi Hasil (RRH) 2025, obligasi SMF mencatat Rp 26,5 miliar dan sukuk SMF Rp 11,52 miliar, sementara EBA SMF hanya Rp 210 juta. Menariknya, 42 persen dari obligasi dan sukuk SMF saat ini dimiliki oleh bank, menunjukkan integrasi yang kuat dalam sistem keuangan.

“Besar harapan kami, jika perusahaan semakin giat menerbitkan obligasi, mereka akan memiliki akses ke sumber pinjaman yang lebih beragam dan dengan biaya dana yang lebih efisien,” ungkap Fitra. Pengembangan pasar repo ini, menurut catatan BI, secara fundamental akan memperkuat dan memperdalam pasar keuangan, terutama obligasi korporasi, sebagai tumpuan pembiayaan ekonomi.

Perluasan instrumen underlying transaksi repo BI juga diharapkan mendorong peningkatan transaksi surat berharga berkualitas tinggi. Dampaknya adalah peningkatan likuiditas di pasar keuangan secara keseluruhan, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada penurunan biaya pinjaman korporasi, menjadikan pendanaan lebih terjangkau bagi pelaku usaha.

Sayangnya, pasar obligasi korporasi Indonesia masih menunjukkan ketertinggalan signifikan dibandingkan negara-negara tetangga di Asia. Berdasarkan data IMF dan Asian Bonds Online (2024), nilai outstanding obligasi korporasi Indonesia baru mencapai 2,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, atau sekitar 29 miliar dolar AS dari total PDB sebesar 1,396 triliun dolar AS.

“Rasio ini terpaut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan, seperti Korea Selatan yang mencapai 60,7 persen dari PDB, Singapura dengan 27,06 persen, dan Jepang 16,84 persen,” terang Fitra. Meskipun demikian, total rasio utang terhadap PDB Indonesia tercatat sebesar 40,19 persen, dengan outstanding obligasi pemerintah dan bank sentral mencapai 387 miliar dolar AS atau 27,72 persen dari PDB, menunjukkan potensi besar untuk pengembangan pasar obligasi swasta.

Optimalisasi pemanfaatan obligasi korporasi melalui transaksi repo diyakini akan secara substansial memperdalam pasar keuangan domestik dan memperluas sumber pembiayaan jangka panjang bagi dunia usaha. Oleh karena itu, perluasan instrumen underlying repo oleh Bank Indonesia ini adalah strategi krusial untuk memperkuat struktur pendanaan nasional dan menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan Indonesia.

Selain menawarkan alternatif sumber dana bagi bank, kebijakan ini juga diharapkan mampu secara signifikan meningkatkan likuiditas pasar obligasi korporasi. Peningkatan likuiditas ini akan menjadi daya tarik kuat bagi investor untuk menempatkan dana mereka pada instrumen tersebut, menciptakan siklus positif bagi perkembangan pasar modal Indonesia.

Ringkasan

Bank Indonesia (BI) memperluas instrumen transaksi repurchase agreement (repo) dengan menambahkan obligasi korporasi sebagai underlying asset, yang sebelumnya hanya terbatas pada surat berharga negara (SBN). Langkah ini bertujuan untuk mendorong korporasi menerbitkan obligasi dan menyediakan sumber pembiayaan yang lebih efisien bagi dunia usaha, terutama bagi Dealer Utama (DU) yang kini berwenang melakukan transaksi repo menggunakan obligasi korporasi. Pada tahap awal, BI akan menerima obligasi yang diterbitkan oleh PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) sebagai underlying repo, dengan kriteria tertentu seperti peringkat kredit, likuiditas pasar, dan reputasi penerbit.

Pengembangan pasar repo ini diharapkan dapat memperdalam pasar keuangan, khususnya obligasi korporasi, dan meningkatkan likuiditas pasar keuangan secara keseluruhan. Dengan semakin banyak perusahaan menerbitkan obligasi, mereka akan memiliki akses ke sumber pinjaman yang lebih beragam dengan biaya dana yang lebih efisien. Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan dapat meningkatkan likuiditas pasar obligasi korporasi dan menarik minat investor, sehingga memperkuat struktur pendanaan nasional dan menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan Indonesia.