Ifonti.com Nilai tukar rupiah yang dalam sepekan terakhir melemah hingga menyentuh kisaran Rp 16.700 per dolar AS dinilai berlebihan oleh sejumlah pakar ekonomi. Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, secara tegas menggarisbawahi bahwa stabilitas rupiah bisa kembali pulih dengan adanya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal yang lebih koheren dan terpadu.
Menurut Fakhrul, salah satu tekanan utama yang membebani rupiah adalah minimnya kejelasan mengenai pemanfaatan optimal dari arus dolar yang masuk ke Indonesia. Ia mempertanyakan, “Jika dolar milik WNI di luar negeri ditarik pulang, pertanyaannya adalah disalurkan ke instrumen apa, ke sektor mana, dan dengan syarat bagaimana.” Tanpa kejelasan strategis tersebut, pasar cenderung menginterpretasikan bahwa kebutuhan dolar AS Indonesia di masa depan justru akan meningkat, terutama untuk pembayaran bunga utang.
Dalam menyikapi kondisi ini, Fakhrul menilai pemerintah dapat segera memperkuat pendalaman pasar keuangan dengan menghadirkan instrumen yang lebih kredibel. Contohnya, melalui penerbitan global bond pemerintah atau obligasi dolar oleh BUMN strategis seperti Pertamina dan PLN. Ia juga mencatat bahwa kebutuhan pembiayaan dolar sektor swasta saat ini menurun, terlihat dari rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) non-rupiah perbankan yang berada di bawah 80%. “Harus langsung ada prospek proyek dan pinjaman dolar yang jelas. Itu yang membuat pasar percaya bahwa dolar masuk ke Indonesia punya arah,” tegasnya, menekankan pentingnya transparansi tujuan investasi untuk membangun kepercayaan pasar.
Rupiah Loyo, Reasuransi Atur Strategi
Untuk menahan laju pelemahan rupiah, Fakhrul mengusulkan tiga langkah strategis yang perlu segera dipertimbangkan:
- Pertama, Pemerintah, Pertamina, atau PLN didorong untuk segera menerbitkan obligasi dolar guna menampung likuiditas dolar yang tersedia.
- Kedua, bank-bank nasional yang memiliki cadangan likuiditas dolar diarahkan untuk menyalurkan pinjaman ke pasar luar negeri, sejalan dengan misi penguatan BUMN perbankan.
- Ketiga, penting untuk meninjau ulang kebijakan bunga deposito USD 4% yang dinilai memiliki dampak signifikan dan memengaruhi ekspektasi pasar secara drastis.
Tonton: Terendah dalam Sejarah, Nilai Tukar Rupiah Tembus 13.000 Per Dollar Singapura
Lebih jauh, Fakhrul juga menekankan pentingnya membangun pasar mata uang dan derivatif dalam negeri yang lebih dalam dan resilient. Saat ini, Indonesia masih menghadapi keterbatasan aset berdenominasi dolar, baik dalam bentuk pinjaman maupun obligasi. Ia mengakui keberhasilan Indonesia dalam menurunkan kebutuhan dolar melalui kewajiban penggunaan rupiah di berbagai transaksi. Namun, ke depan, yang mendesak adalah perluasan instrumen pasar dan penguatan analisis risiko untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.
Meskipun nilai tukar rupiah saat ini masih berada di level Rp 16.700 per dolar AS, Fakhrul menilai bahwa kondisi tersebut sudah masuk kategori ‘overshooting’. Dengan asumsi bahwa suku bunga di Amerika Serikat akan mengalami penurunan dan neraca perdagangan Indonesia tetap mencatat surplus yang besar, peluang penguatan rupiah sesungguhnya sangat terbuka lebar. “Kalau kebijakan bisa dijalankan dengan koheren, rupiah bisa kembali ke level Rp 16.000 atau bahkan lebih kuat. Jadi bukan saatnya membeli dolar sekarang,” pungkasnya, memberikan saran investasi yang bijak kepada masyarakat.