Sejumlah Emiten Nikel Raup Kinerja Keuangan Positif, Cek Rekomendasinya

Ifonti.com JAKARTA. Di tengah fluktuasi dan tren pelemahan harga nikel di pasar global sepanjang tahun ini, mayoritas emiten produsen nikel di Indonesia berhasil menunjukkan ketangguhan. Mereka sukses membukukan pertumbuhan kinerja keuangan yang positif hingga kuartal III-2025, baik dari sisi pendapatan (top line) maupun laba bersih (bottom line).

Kinerja impresif ini terlihat jelas pada beberapa perusahaan terkemuka. PT PAM Mineral Tbk (NICL), misalnya, mencatatkan lonjakan penjualan sebesar 64,82% year on year (yoy) mencapai Rp 1,35 triliun pada kuartal III-2025. Sejalan dengan itu, laba bersih NICL meroket 131,28% yoy menjadi Rp 401,66 miliar. Tak ketinggalan, PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) juga meraih penjualan sebesar Rp 1,24 triliun, tumbuh 29,51% yoy, dengan laba bersih melesat 52,79% yoy menjadi Rp 442,36 miliar.

Sementara itu, PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel membukukan pertumbuhan penjualan 9,91% yoy menjadi Rp 22,40 triliun per kuartal III-2025. Di periode yang sama, laba bersih NCKL menanjak 33,26% yoy mencapai Rp 6,45 triliun. Agak berbeda, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengalami koreksi pendapatan tipis 0,45% yoy menjadi US$ 705,38 juta. Meskipun demikian, laba bersih INCO masih mampu tumbuh 2,60% yoy menjadi US$ 52,45 juta.

Stasiun Tanah Abang Baru Garapan PTPP Diresmikan, Nilai Kontrak Rp 309 Miliar

Investment Analist Infovesta Utama, Ekky Topan, menjelaskan bahwa kinerja positif emiten nikel seperti DKFT, NICL, NCKL, dan INCO pada kuartal III-2025 sebagian besar ditopang oleh peningkatan signifikan pada volume produksi dan penjualan nikel, yang diiringi dengan strategi efisiensi operasional yang ketat. Kombinasi ini terbukti efektif dalam menyeimbangkan tekanan akibat pelemahan harga nikel global.

Sebagai ilustrasi, NICL berhasil meningkatkan penjualan bijih nikelnya hingga 88,76% yoy, mencapai 2.404.590,63 metrik ton pada kuartal III-2025. DKFT juga mencatatkan kenaikan penjualan bijih nikel 31% yoy menjadi 2,29 juta metrik ton. Selain itu, Ekky menambahkan, upaya hilirisasi industri nikel di dalam negeri juga memegang peranan krusial dalam menjaga margin keuntungan emiten di sektor ini. “Perusahaan yang mulai terintegrasi dari hulu ke hilir akan memperoleh nilai tambah dari produk olahan nikel,” ujarnya, Selasa (4/11).

Dari beberapa emiten nikel yang disebutkan, NCKL adalah salah satu yang terdepan dengan kepemilikan fasilitas smelter High Pressure Acid Lead (HPAL) dan smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang berlokasi di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Sementara itu, INCO masih terus mengembangkan proyek smelter HPAL di tiga lokasi strategis: Pomalaa, Morowali, dan Sorowako.

Praska Putrantyo, Chief Executive Officer (CEO) Edvisor Provina Visindo, mengakui bahwa secara teoritis emiten produsen nikel dapat menghadapi tekanan akibat harga nikel yang cenderung stagnan karena kondisi pasar yang kelebihan pasokan (oversupply). Namun, ia menekankan bahwa permintaan nikel secara fundamental tetap tinggi, terutama didorong oleh sektor industri kendaraan listrik dan stainless steel. Tingginya permintaan ini menjadi penyeimbang yang kuat terhadap pelemahan harga jual rata-rata (ASP) emiten.

Secara keseluruhan, emiten-emiten produsen nikel diperkirakan masih memiliki peluang untuk mempertahankan tren positif kinerja operasional dan keuangannya hingga akhir tahun 2025. “Namun, dengan risiko pelemahan harga nikel yang persisten, strategi efisiensi operasional menjadi kunci yang harus terus diperkuat,” tutur Praska, Selasa (4/11). Selain efisiensi, ekspansi ke segmen hilirisasi melalui pembangunan smelter juga merupakan langkah vital agar kinerja emiten nikel dapat terus bertumbuh secara berkelanjutan.

Di sisi lain, Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzaty, menyoroti kenaikan harga saham emiten nikel sejak awal tahun (year to date/ytd): DKFT (+250%), NICL (+278,85%), NCKL (+52,98%), dan INCO (+27,07%). Menurutnya, lonjakan harga saham ini mencerminkan gabungan antara penguatan fundamental perusahaan dan sentimen sektoral yang sangat positif. Sektor nikel memang sedang mengalami euforia berkat agenda hilirisasi mineral yang masif dan tingginya permintaan bahan baku untuk baterai kendaraan listrik.

Meskipun demikian, Arinda mengingatkan bahwa tren kenaikan harga saham ini belum tentu akan berlanjut jika harga nikel global kembali melemah atau realisasi proyek hilirisasi berjalan lambat. “Ke depannya, pergerakan saham emiten nikel akan sangat ditentukan oleh stabilitas harga nikel global, efektivitas strategi efisiensi emiten, serta arah kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri nikel,” ungkapnya, Selasa (4/11).

Dari sejumlah emiten nikel, Arinda merekomendasikan saham INCO dan NCKL untuk dicermati oleh investor, dengan target harga masing-masing di level Rp 4.900 per saham dan Rp 1.280 per saham. Sementara itu, Ekky Topan menilai DKFT dan INCO sebagai emiten nikel yang relatif menarik bagi investor, didasarkan pada eksposur mereka ke rantai hilirisasi dan struktur keuangan yang kuat. Harga saham DKFT berpotensi mencapai kisaran Rp 900—Rp 1.000 per saham jika berhasil rebound, sementara target harga saham INCO dalam waktu dekat dapat menyentuh area Rp 5.000—Rp 5.200 per saham. Sebaliknya, Praska menyarankan buy on weakness untuk saham NCKL dengan target harga di level Rp 1.300 per saham.

Kinerja Waskita Karya (WSKT) Masih Kelabu, Begini Kata Analis