SIDO Muncul: Produk Baru Dongkrak Kinerja? Cek Rekomendasi Sahamnya!

Ifonti.com, JAKARTAPT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) menghadapi tantangan penurunan tipis pendapatan secara tahunan pada paruh pertama tahun 2025. Untuk menggenjot kinerja perseroan, SIDO kini mengandalkan sejumlah produk baru yang telah diluncurkan pada kuartal II sebelumnya.

Berdasarkan laporan keuangan terbaru, pendapatan SIDO tergerus 3,6% secara tahunan, mencapai angka Rp 1,8 triliun pada semester I-2025. Namun, secercah harapan muncul dari pemulihan pendapatan yang signifikan di kuartal II-2025, melonjak 29,4% menjadi Rp 1 triliun. Angka pemulihan kuat ini menjadi penopang utama yang meredam penurunan lebih dalam pada pendapatan semester pertama.

Kinerja Sido Muncul (SIDO) Membaik di Kuartal II 2025, Begini Rekomendasi Sahamnya

Catherine Florencia, Research Analyst MNC Sekuritas, menyoroti bahwa inovasi produk dan kekuatan merek yang telah terbangun lama tetap menjadi pilar utama penopang pendapatan perseroan. Strategi ini terbukti aktif diterapkan SIDO.

Pasalnya, setelah sukses meluncurkan produk Vitamin D3+K2 pada kuartal I-2025, SIDO tak berhenti berinovasi. Pada kuartal II-2025, perseroan kembali memperkenalkan serangkaian produk baru yang menarik perhatian, seperti Anak Sehat Susu rasa Anggur & Stroberi, Sido Muncul Natural Sari Alam Daun Sirih, dan Sido Muncul Tentrem Teh Tarik. Peluncuran produk-produk ini memperkuat portofolio perseroan.

“Strategi inovasi ini dirancang untuk menyasar demografi pasar yang lebih muda dan sekaligus memperluas jangkauan portofolio produk SIDO,” ungkap Catherine dalam risetnya pada 14 Agustus 2025.

Sido Muncul (SIDO) Bidik Pertumbuhan Laba dan Penjualan 5% di Akhir 2025

Pandangan senada juga disampaikan oleh Ekky Topan, Research Analyst Infovesta Kapital Advisori. Ia menilai peluncuran tiga produk baru pada kuartal II-2025 merupakan langkah strategis diversifikasi SIDO untuk menjaga momentum pertumbuhan. Inisiatif ini menandai pergeseran fokus perusahaan.

Menurut Ekky, dengan hadirnya produk-produk baru ini, SIDO tidak lagi hanya bertumpu pada segmen herbal tradisional, melainkan juga mulai merambah segmen kesehatan preventif dan lifestyle wellness yang terus berkembang. Ini merupakan ekspansi pasar yang cerdas.

“Dampak dari diversifikasi ini berpotensi positif terhadap top line atau pendapatan. Namun, kontribusinya terhadap bottom line atau laba bersih kemungkinan baru akan terasa signifikan pada tahun 2026,” jelas Ekky kepada Kontan, Senin (25/8/2025).

Melihat potensi ini, Ekky berpendapat bahwa saham SIDO masih cukup menarik. Daya tarik utamanya terletak pada merek yang kuat dan pasar yang jelas. Meskipun demikian, valuasi saham SIDO relatif premium jika dibandingkan dengan emiten sektor consumer lainnya.

Namun, Ekky juga mencermati adanya risiko-risiko yang perlu diwaspadai, antara lain potensi lemahnya daya beli domestik dan fluktuasi harga bahan baku yang dapat membayangi kinerja perseroan. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, ia menyarankan strategi buy on weakness untuk saham SIDO, dengan target harga Rp 600 hingga Rp 630 per saham.

Di sisi lain, Catherine memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai risiko utama terhadap kinerja SIDO. Ia menyoroti potensi pemulihan volume penjualan domestik yang lebih lambat dari perkiraan, serta penjualan ekspor di pasar-pasar baru yang mungkin tidak secepat yang diharapkan. Oleh karena itu, Catherine merekomendasikan untuk hold saham SIDO, dengan menetapkan target harga Rp 500 per saham.

Ringkasan

PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) mengalami penurunan pendapatan tipis pada semester I-2025, namun menunjukkan pemulihan di kuartal II berkat peluncuran produk baru seperti Anak Sehat Susu dan Sido Muncul Natural Sari Alam Daun Sirih. Analis menilai inovasi produk ini sebagai strategi untuk menjangkau demografi pasar yang lebih muda dan memperluas portofolio produk.

Diversifikasi produk SIDO ke segmen kesehatan preventif dan lifestyle wellness dinilai positif untuk pendapatan, meskipun dampaknya pada laba bersih mungkin baru terasa signifikan di tahun 2026. Analis memberikan rekomendasi yang bervariasi, dengan mempertimbangkan merek yang kuat, valuasi saham, serta risiko seperti daya beli domestik yang lemah dan fluktuasi harga bahan baku.