Ifonti.com – JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menunjukkan sinyal optimisme yang lebih kuat dalam memandang tahun 2026. Hal ini tercermin dari target pertumbuhan kredit perbankan yang dipatok lebih tinggi, meskipun realisasi tahun ini belum mampu mencapai target yang ditetapkan.
Dalam Buku Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2025, BI mengamati bahwa siklus keuangan Indonesia saat ini masih berada di bawah potensi yang optimal, dan kondisi ini diperkirakan akan berlanjut hingga setidaknya tahun 2026.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, BI memproyeksikan bahwa pertumbuhan kredit perbankan pada tahun depan juga belum akan mencapai kinerja maksimal, dengan target berada di kisaran 8–12%. Walaupun demikian, angka ini sebenarnya lebih ambisius jika dibandingkan dengan target pertumbuhan tahun ini yang berada di rentang 8–11%.
Sebagai pengingat, hingga Oktober 2025, pertumbuhan kredit baru mencapai angka 7,36% secara tahunan (year-on-year/YoY). Perlu dicatat bahwa pertumbuhan pada periode tersebut juga menunjukkan adanya perlambatan dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang berada di level 7,70% YoY.
Sun Life Luncurkan Produk Tradisional SiSuper Beri Manfaat Tunai 360%
BI mengidentifikasi dua faktor utama yang menjadi penyebab rendahnya pertumbuhan kredit perbankan saat ini, yaitu sikap hati-hati yang diterapkan oleh perbankan dalam menyalurkan kredit dan permintaan kredit yang belum cukup kuat.
Dari sisi penawaran, pengetatan persyaratan pemberian kredit (lending requirement) diberlakukan terutama pada kredit konsumsi dan UMKM. BI melihat bahwa perbankan mengambil langkah hati-hati dengan mempertimbangkan potensi risiko kredit pada kedua segmen tersebut.
Sementara dari sisi permintaan, BI mencatat tiga faktor utama yang menahan laju permintaan kredit, yaitu sikap wait and see dari para pelaku usaha, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, serta tingkat suku bunga kredit yang masih relatif tinggi.
Meskipun BI-Rate telah dipangkas sebesar 125 bps sepanjang tahun 2025 sebagai bentuk dukungan terhadap ekspansi likuiditas moneter, faktanya penurunan suku bunga kredit perbankan baru mencapai 20 bps, berada di level 9,00% per Oktober 2025.
Strategi Mengejar Target
Untuk mencapai target yang telah ditetapkan, BI memastikan bahwa seluruh instrumen kebijakan makroprudensial akan tetap bersifat longgar hingga tahun 2026, sambil tetap menjaga stabilitas sistem keuangan.
Langkah ini akan ditempuh melalui berbagai cara. Salah satunya adalah dengan memperkuat efektivitas kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) forward looking lending channel.
Insentif ini berupa pengurangan maksimal sebesar 5,5% untuk kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM), yang akan diberikan berdasarkan komitmen bank dalam menyalurkan kredit kepada sektor-sektor tertentu dan menurunkan suku bunga kredit sejalan dengan arah suku bunga kebijakan BI.
Dengan adanya penurunan setoran GWM, diharapkan likuiditas bank akan menjadi lebih longgar, sehingga penyaluran kredit dapat dilakukan secara lebih maksimal.
Tawaran insentif ini diharapkan dapat mendorong bank untuk menurunkan suku bunga kredit. Sebab, tingginya suku bunga menjadi salah satu faktor utama yang menghambat laju permintaan kredit.
Lebih lanjut, BI melihat bahwa lambatnya penurunan suku bunga ini disebabkan oleh adanya fenomena suku bunga deposito spesial di level 5,21% bagi deposan besar, yang memiliki pangsa cukup signifikan, yaitu hingga 27% dari total DPK per Oktober 2025.
“Fenomena ini menunjukkan adanya distorsi pada bekerjanya mekanisme pasar karena daya tawar para deposan besar yang lebih kuat terhadap bank di tengah struktur industri perbankan yang lemah karena terlalu banyaknya jumlah bank,” demikian tertulis dalam Buku PTBI 2025.
BI menyatakan akan terus mengevaluasi dampak KLM forward looking interest channel terhadap kecepatan penurunan suku bunga perbankan. Selain itu, BI juga akan berkoordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mempercepat penurunan suku bunga deposan besar dan penurunan margin suku bunga kredit secara umum.
Selanjutnya, BI juga memperkuat Protokol Manajemen Krisis Terintegrasi (PMKT). Surveilans sistemik BI, sebagai bagian dari pelaksanaan pengawasan makroprudensial, akan difokuskan pada bank-bank besar yang dinilai sangat berpengaruh dalam penyaluran kredit.
Sebagai informasi, surveilans sistemik dilakukan terhadap berbagai aspek, di antaranya kinerja kredit, ketahanan terhadap risiko likuiditas, risiko pasar (nilai tukar dan yield SBN), risiko kredit, risiko operasional, serta interkoneksi dalam pendanaan, pasar uang, dan sistem pembayaran.
Pengawasan ketat terhadap aspek-aspek tersebut diharapkan dapat mengurangi dampak ketidakpastian global yang secara tidak langsung memengaruhi likuiditas karena menyebabkan larinya modal ke luar negeri serta penurunan aktivitas dunia usaha.
AAUI: Usulan Kewajiban Asuransi Perjalanan bagi Wisatawan Asing Dalam Tahap Diskusi
Ringkasan
Bank Indonesia menargetkan pertumbuhan kredit perbankan di tahun 2026 berada di kisaran 8-12%, lebih tinggi dari target tahun ini. Pertumbuhan kredit yang belum optimal disebabkan oleh kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit dan permintaan kredit yang belum kuat akibat suku bunga yang masih tinggi.
Untuk mencapai target, BI akan mempertahankan kebijakan makroprudensial yang longgar dan memperkuat efektivitas Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). Selain itu, BI akan berkoordinasi dengan KSSK untuk mempercepat penurunan suku bunga deposan besar dan margin suku bunga kredit secara umum, serta memperkuat Protokol Manajemen Krisis Terintegrasi (PMKT) dengan fokus pada bank-bank besar.