Sudah 4 Kali, BI Masih Punya Ruang untuk Turunkan Suku Bunga Lagi

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) secara konsisten mempertimbangkan ruang untuk melanjutkan pelonggaran kebijakan moneter, sebuah langkah strategis yang ditujukan untuk memperkuat momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Pernyataan ini menegaskan komitmen BI dalam menopang aktivitas perekonomian di tengah dinamika global dan domestik.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa keputusan untuk menurunkan BI Rate selalu didasarkan pada serangkaian pertimbangan matang, terutama proyeksi inflasi inti untuk dua tahun ke depan. Ia menegaskan keyakinan bank sentral bahwa inflasi inti pada tahun 2025 dan 2026 akan tetap berada pada level rendah, diperkirakan sekitar 2,5%. Keyakinan terhadap stabilitas inflasi ini memberikan Bank Indonesia ruang untuk melanjutkan penyesuaian suku bunga acuan, yang sebelumnya telah dipangkas sebanyak empat kali.

“Karena tetap rendahnya [inflasi] ini tentu saja memberikan ruang bagi penurunan suku bunga yang kami sudah tempuh empat kali ini. Dan kami terus mencermati ruang penurunan suku bunga ke depan,” ujar Perry dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Rabu, 20 Agustus 2025. Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa prospek inflasi yang terkendali menjadi landasan utama bagi fleksibilitas kebijakan moneter.

Di sisi lain, Bank Indonesia juga terus memantau ruang penurunan suku bunga acuan mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan masih berada di bawah kapasitas potensinya. Untuk tahun 2025, BI memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh di atas titik tengah kisaran 4,6% hingga 5,4% secara tahunan (yoy). Perry menambahkan, “Artinya kapasitas perekonomian masih lebih besar dari permintaan, dan karenanya kami sudah menurunkan suku bunga empat kali. Dan kami terus akan mencermati ruang penurunan suku bunga lebih lanjut.” Penilaian ini mengisyaratkan bahwa BI melihat adanya celah untuk stimulus moneter tambahan guna mendorong perekonomian mencapai potensi maksimalnya.

Secara lebih rinci mengenai pertumbuhan ekonomi, Perry Warjiyo memperkirakan kinerja Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sepanjang tahun 2025 dapat melampaui 5,1% yoy. Proyeksi optimis ini didukung oleh tiga pilar utama: peningkatan ekspor, pemulihan belanja pemerintah, dan peningkatan investasi. Angka proyeksi BI ini sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah, yaitu di level 5,2% yoy, menunjukkan sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal.

Khusus sektor ekspor, bank sentral tetap meyakini tren positif kinerja ekspor Indonesia ke berbagai negara akan berlanjut, bahkan setelah Amerika Serikat (AS) memberlakukan tarif impor sebesar 19%. Keyakinan ini diperkuat oleh potensi pertumbuhan yang dapat melebihi 5,1%, yang menurut Perry, semakin mempertegas pentingnya sinergi dan koordinasi kebijakan antara pemerintah dan Bank Indonesia untuk mencapai target tersebut.

Di ranah ekonomi global, dampak pemberlakuan tarif impor oleh pemerintahan Presiden Donald Trump telah mendorong Bank Indonesia untuk merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara. Deputi Gubernur BI, Aida S. Budiman, mengemukakan bahwa beberapa negara justru diproyeksikan mencatatkan kinerja ekonomi yang lebih baik. Sebagai contoh, BI merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi Uni Eropa dari 0,9% menjadi 1% yoy, Jepang dari 0,8% menjadi 1% yoy, serta Tiongkok dari 4,3% menjadi 4,6% yoy.

Revisi naik ini sebagian besar disebabkan oleh keberhasilan negosiasi dengan AS yang menghasilkan penurunan besaran tarif impor yang dikenakan. Namun, tidak semua negara mengalami peningkatan proyeksi. India, yang menghadapi tarif impor lebih tinggi dari AS, melihat proyeksi pertumbuhan ekonominya direvisi turun dari 6,6% menjadi 6,5% yoy. Bank Indonesia juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun 2025, dari 2,1% menjadi 2% yoy.

Secara keseluruhan, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan berada di kisaran 3% yoy. Namun, Aida memperingatkan bahwa angka ini berpotensi lebih rendah. “Karena masih ada risiko transhipment yang bisa menambah pengenaan tarif [dan] negosiasi yang masih berlangsung. Semuanya ini mengakibatkan secara potential risk dari skenarionya bisa lebih rendah dari 3%,” pungkas Aida. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakpastian dalam kebijakan perdagangan global masih menjadi faktor krusial yang perlu dicermati.