Ifonti.com JAKARTA – Minggu malam di Blok M menyuguhkan nuansa yang tidak biasa. Suasana lengang terasa dominan, dengan lalu-lalang kendaraan dan pejalan kaki yang minim. Deretan kursi plastik di kios-kios sate Taichan dan Gultik (gulai tikungan) di sepanjang jalan hanya terisi oleh segelintir pengunjung, menciptakan ketenangan yang jarang ditemukan di kawasan yang lazimnya ramai itu.
Gerimis baru saja reda saat saya tiba di depan Row 9, sebuah bangunan enam lantai yang menjulang di persimpangan Jalan Bulungan. Gedung ini dikenal luas sebagai episentrum skena musik di Jakarta. Dari luar, arsitektur bergaya industrialnya sepintas menyerupai co-working space atau kafe modern pada umumnya, tanpa memberikan petunjuk akan geliat energi yang tersembunyi di dalamnya.
Namun, atmosfer santai layaknya tempat nongkrong segera bergeser 180 derajat begitu saya melangkah masuk ke dalam lift menuju Krapela di lantai 5. Krapela adalah sebuah bar dengan konsep open-modular yang secara konsisten menjadi wadah bagi seniman dan artis independen ibu kota untuk berkarya. Meskipun ukurannya tidak seluas bar atau pub lain di Jakarta, Krapela memiliki karakternya sendiri.
Di tempat ini, perhatian utama tidak tertuju pada meja bartender yang berjejer botol-botol minuman, melainkan pada sebuah panggung kecil dengan lampu disko yang menyala di tengahnya. Perlahan, anak-anak muda mulai berdatangan, memenuhi ruangan untuk menyaksikan gelaran acara musik Door Opener Vol. 3 yang berlangsung di Krapela pada Minggu malam, 23 Februari 2025.
Puluhan penonton, yang sebagian besar tampak jauh lebih muda dari saya, berdiri memenuhi setiap ruang kosong di depan panggung. Mereka larut dalam euforia, bahkan beberapa tak sungkan untuk moshing saat band memainkan lagu favorit. Semangat dan gerak-gerik penonton Door Opener Vol. 3 malam itu membangkitkan nostalgia, membawa saya kembali ke masa kejayaan skena musik independen Indonesia di awal tahun 2000-an.
Dua dekade silam, saya ingat pernah berada di sebuah bar serupa, menyaksikan penampilan monumental band new wave The Upstairs. Band yang digawangi oleh para jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu baru saja merilis album “Matraman”. Hingga kini, masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana Jimi Multazam, sang vokalis, bergelinjang di panggung sambil melantunkan potongan lirik yang begitu ikonik:
“Kan ku persembahkan sekuntum mawar. Aku di Matraman, kau di kota Kembang.”
Mesin Waktu Itu Bernama The Cottons
Setelah dua dekade berlalu, keriaan dan intimnya menonton musik indie di bar sempit dengan cahaya temaram, kini bisa saya rasakan kembali. Sempat mati suri akibat pandemi dan pembangunan MRT yang masif, wajah Blok M sebagai pusat hiburan di Jakarta akhirnya ‘bangkit dari kubur’. Jika dulu generasi 80-an menikmati band favorit di Lipstick dan generasi 90-an memadati Poster Cafe, kini para Generasi Z (Gen Z) memilih Krapela sebagai wadah ekspresi mereka.
Door Opener Vol. 3 sejatinya merupakan sebuah gig indie yang menampilkan delapan band dari berbagai genre musik. Namun, alasan utama saya datang ke Blok M malam itu tak lain adalah untuk menyaksikan penampilan salah satu band yang tengah mencuri perhatian di skena musik independen: The Cottons.
The Cottons adalah duo power-pop asal Jakarta Timur, yang digawangi oleh pasangan suami-istri Yehezkiel Tambun (Jezkul) dan Kaneko Pardede (Keko). Setelah sempat merilis dua singles pada 2016, nama The Cottons semakin dikenal di kalangan penggemar musik indie usai meluncurkan EP atau mini album berjudul “Harapan” pada pertengahan tahun lalu.
Meskipun berkonsep duo, mereka tampil layaknya full band di panggung, didukung oleh empat additional player yang mengisi posisi drum, gitar akustik, bass, dan keyboard. Keko fokus pada keyboard, sementara Jezkul memegang gitar elektrik, menciptakan harmoni yang padu.
Usai proses sound check yang cukup menyita waktu, pencahayaan di Krapela perlahan meredup. Alunan suara flute yang merdu, diiringi petikan gitar dan ketukan drum, memecah keheningan yang sebelumnya menyelimuti ruangan, kini sudah dipadati oleh puluhan penonton.
Lampu-lampu warna-warni di dinding menyala, menyoroti lima laki-laki dan satu perempuan di atas panggung berukuran sekitar 2 x 4 meter. Sebagai pembuka, The Cottons membawakan lagu dari single pertama mereka sembilan tahun silam, “It’s Only A Day”.
Harmoni musik pop yang easy listening berpadu apik dengan vokal Kaneko yang dreamy namun penuh karakter. Suara Keko secara samar mengingatkan saya pada Rose Melberg, vokalis band twee-pop legendaris The Softies. Mungkin saja, inspirasi inilah yang melatarbelakangi pemilihan nama The Cottons, mencerminkan musik mereka yang selembut dan seringan kapas.
Melalui lagu “It’s Only A Day”, The Cottons berhasil menghadirkan nuansa sound power-pop yang familiar, mengingatkan pada band-band dari kompilasi C86 yang populer di Inggris pada akhir era 80-an, seperti The Pastels hingga Primal Scream. Ciri khas genre musik indie ini memang terletak pada liriknya yang sederhana serta melodi yang sangat catchy.
“It’s only a day I knew it’s lonely. It’s only a day I knew it’s sadness. Destiny, destiny, I’m waiting.”
Berlanjut ke lagu kedua, The Cottons memainkan “Ashes of Hope”. Track terakhir dari EP “Harapan” ini menampilkan perpaduan vokal Jezkul yang sendu, lirik yang melankolis, serta riff-riff gitar yang terasa lembut namun tetap garang. Berbeda dari lagu sebelumnya, “Ashes of Hope” sukses menciptakan nuansa balada atau progresif pop yang pernah berjaya di tangga lagu radio era 70-an.
Selain tingkat musikalitas yang tinggi, saya meyakini kekuatan utama lagu-lagu di EP “Harapan” (2024) justru terletak pada kematangan penulisan liriknya, yang dirajut langsung oleh Jezkul dan Keko. Pemilihan kata dan frasa yang puitis dan bermakna mampu membangkitkan emosi pendengar, bahkan saat menyaksikan pertunjukan secara langsung, seperti yang terasa pada potongan lirik “Ashes of Hope”:
“All these days, all the nights, and all these dawns. I’ll wake up when due. Nothing I can do.”
Selanjutnya, Kaneko kembali mengambil alih vokal saat membawakan single pertama di album baru, yaitu “Harapan Pt. 1”. Track ini adalah lagu yang memperkenalkan saya, dan mungkin juga banyak penggemar lainnya, pada pesona The Cottons.
Perpaduan antara melodi keyboard retro dan ketukan drum yang repetitif pada intro lagu “Harapan Pt. 1” terasa seperti oase di tengah masifnya musik jedag-jedug yang membanjiri TikTok dan Instagram beberapa tahun terakhir. Kehadiran The Cottons turut memperkaya daftar band indie dengan vokalis perempuan, menyusul jejak White Shoes and The Couples Company (Jakarta), Laluna dan Mocca (Bandung), serta The Monophones (Yogyakarta).
Mendengar suara Keko yang lembut melantunkan lirik puitis, dipadu racikan musik progresif rock yang ciamik ala Jezkul, sukses menyihir para penonton—yang sebagian besar Gen Z—kembali ke masa lalu. Mereka seolah dibawa ke era kejayaan Prambors Rasisonia, radio paling gaul waktu itu, yang merilis album Lomba Cipta Lagu Remaja (LCKR) 1977-1978 dan melahirkan musisi legendaris seperti Chrisye, Keenan Nasution, hingga Yockie Suryoprayogo.
Meskipun terkesan ringan, aransemen musik pada lagu “Harapan Pt. 1” sebenarnya rumit, dengan layer-layer yang tak terduga. Bagi saya, mendengarkan lagu “Harapan Pt. 1” memberikan pengalaman serupa menyantap kudapan khas Prancis, Mille Crepes. Manis, lembut, dan ringan, namun proses pembuatannya kompleks karena harus menyusun berlapis-lapis adonan crepe dan krem dengan presisi. Perpaduan semua instrumen yang dimainkan dengan apik malam itu membuat sorotan panggung tidak hanya tertuju pada Jezkul dan Keko, tetapi juga pada seluruh additional player.
Dalam album ini, Jezkul dan Keko mengadopsi konsep medley, mirip dengan masterpiece “Shine On You Crazy Diamond” (Pink Floyd) dan “Nusantara 1-8” (Koes Plus). Sesaat sebelum “Harapan Pt. 1” berakhir, Jezkul memainkan Synthesizer Keyboard berukuran kecil di sampingnya. Seketika, mood lagu yang sebelumnya ‘ringan’ khas pop berubah menjadi ‘berat’, layaknya musik eksperimental. The Cottons lagi-lagi membuat saya berdecak kagum karena mampu mengubah atmosfer dalam sekejap.
Momen instrumental yang berlangsung selama satu menit itu ternyata menjadi pintu gerbang sempurna menuju lagu selanjutnya. Bagi saya, bagian transisi dari lagu “Harapan Pt. 1” ke “Harapan Pt. 2” terasa begitu sempurna dan layak masuk dalam deretan lagu pop Indonesia terbaik sepanjang masa.
Usai atraksi solo Jezkul, penonton di Krapela mendadak berubah menjadi paduan suara, dengan Keko sebagai dirigennya. Mereka bersama-sama menyanyikan lirik lagu “Harapan Pt. 2” dengan penuh emosi:
“Tak terukur dalamnya rasa pilu saat ku kehilangan harapan. Anganku melintasi samudra. Tak pernah terpikir tuk di sini.”
Di tengah lagu, Jezkul kembali memukau lewat atraksi gitar solo yang gaungnya mampu menyayat hati. Menjelang penghujung lagu “Harapan Pt. 2”, mereka menyelipkan sound berupa siulan ikonik almarhum Ade Paloh, pentolan grup band Sore, dari track “Apatis Ria”, yang disambut tepuk tangan meriah penonton.
The Cottons juga memberikan kejutan saat membawakan lagu “Bayar, Bayar, Bayar” yang dipopulerkan oleh band punk yang sedang jadi sorotan, Sukatani. Momen ini disambut riuh dengan teriakan dan nyanyian puluhan penonton yang bergemuruh sekeras-kerasnya.
Jezkul dan Keko kemudian kembali membawakan track dari EP yang dirilis pada 2016, yaitu “Yesterday is Gone”. Suara drum yang menghentak dan raungan gitar elektrik khas band indie-rock mendominasi melodi di lagu ini, yang memang telah membuat The Cottons dikenal luas di komunitas Bandcamp sejak sembilan tahun lalu.
Sebagai pamungkas, The Cottons menghentak Krapela dengan track “Harapan Pt. 3”. Menurut saya, lagu ini menjadi akhir episode yang manis dari sebuah trilogi. Melalui “Harapan Pt. 1-3”, pendengar seperti diajak mengikuti perjalanan Jezkul dan Keko dalam memaknai ‘harapan’ di kehidupan mereka.
Melodi gitar dan keyboard yang ceria, ditambah lirik lagu dengan pemilihan frasa-frasa ala lagu cinta era 70-an yang romantis dan optimistis, sukses membuat puluhan penonton di Krapela bergoyang gembira pada Minggu malam itu. Meskipun mengadopsi tema retro dengan sentuhan progressive rock, The Cottons mampu menampilkan pertunjukan musik pop modern dan dengan penulisan lirik yang tetap relevan dengan persoalan Generasi Z maupun Milenial saat ini.
“Kupandang mega cerah tak berawan, maknanya takkan pernah terganti. Sekian banyak uang yang ku punya tak sanggup bahagiakan diri ini. Dan seribu masa depan bersama denganmu oh rinduku. Bilamana hadirmu jauh, tak kuasa ragu dalam hidupku hingga surya hari berlalu.”
Akhirnya, menyaksikan penampilan The Cottons selama 45 menit malam itu membuat hati saya, dan mungkin juga semua penonton di Krapela, terasa penuh kembali. Musik memang kerap kali menjadi panasea, terutama di tengah peliknya kondisi ekonomi dan ketidakpastian situasi politik di Indonesia saat ini. Saya jadi teringat cuitan @howtodressvvell yang sempat viral di media sosial X beberapa waktu lalu: Satu-satunya harapan yang tersisa di negeri ini cuma mini albumnya The Cottons.