Ifonti.com – Meskipun Bank Indonesia (BI) telah mengambil langkah sigap dengan memangkas suku bunga acuan sebanyak empat kali sepanjang tahun 2025, membawanya turun ke level 5 persen, respons dari suku bunga kredit perbankan justru berjalan lambat dan belum mencerminkan penurunan yang sepadan. Fenomena ini menunjukkan adanya transmisi kebijakan moneter yang cenderung lamban ke sektor riil, di mana perbankan harus menimbang berbagai faktor struktural serta prinsip kehati-hatian demi menjaga stabilitas keuangan.
Salah satu pilar utama yang menghambat penurunan suku bunga kredit adalah biaya dana atau cost of fund yang masih relatif tinggi bagi perbankan. Meskipun Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan, suku bunga simpanan masyarakat, khususnya deposito, tidak serta-merta mengikuti dengan cepat. Bank-bank memiliki keharusan untuk mempertahankan daya tarik simpanan guna menjaga stabilitas likuiditas, terlebih di tengah persaingan ketat dengan instrumen pasar uang BI dan obligasi pemerintah. Ini berarti, bank harus tetap menawarkan imbal hasil yang cukup kompetitif untuk menarik dan mempertahankan Dana Pihak Ketiga (DPK). Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menjelaskan kepada Jawa Pos pada Minggu (24/8), “Jika bunga simpanan belum turun signifikan, otomatis ruang bank untuk menurunkan bunga kredit pun terbatas.”
Faktor krusial kedua adalah belum pulihnya permintaan kredit di pasar. Data per Juli 2025 menunjukkan pertumbuhan kredit hanya mencapai sekitar 7,03 persen secara tahunan, angka yang masih di bawah target Bank Indonesia sebesar 8-11 persen. Dunia usaha masih cenderung bersikap hati-hati, dengan banyak korporasi memilih untuk memanfaatkan dana internal daripada mengambil pinjaman dari bank. Pertumbuhan kredit modal kerja dan konsumsi terlihat rendah, sementara kredit investasi, meskipun lebih tinggi karena proyek belanja modal, masih terbatas pada sektor-sektor tertentu. Josua menegaskan, “Dengan permintaan yang lemah, bank tidak punya urgensi besar untuk menurunkan bunga secara agresif demi menarik debitur.” Ini mengindikasikan bahwa tanpa dorongan dari sisi permintaan, insentif bank untuk memangkas bunga sangat minim.
Selain itu, perbankan juga sangat mencermati dinamika risiko ekonomi, baik yang berasal dari dalam negeri maupun ketidakpastian global. Meskipun perekonomian nasional menunjukkan pertumbuhan di atas 5 persen, sektor perbankan tetap menilai bahwa risiko ke depan masih signifikan. Ancaman eksternal mencakup perang tarif antara Amerika Serikat (AS), gejolak geopolitik, hingga arah kebijakan The Federal Reserve (The Fed) yang berpotensi memicu volatilitas pada nilai tukar rupiah. Di sisi domestik, daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah masih menunjukkan pelemahan, yang pada gilirannya meningkatkan risiko kredit macet, terutama di segmen UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) dan konsumen. Kondisi ini secara kolektif mendorong bank untuk bersikap konservatif. Menurut Josua, “Lebih baik menjaga margin bunga (Net Interest Margin/NIM) dan kualitas aset daripada agresif menurunkan bunga kredit,” sebuah strategi untuk melindungi kesehatan finansial bank.
Josua Pardede turut menyoroti bahwa secara historis, karakter transmisi suku bunga di Indonesia memang cenderung lambat. Ia mencontohkan, saat Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan secara signifikan pada periode 2022-2023 sebanyak 225 basis poin (bps), bank-bank hanya menaikkan suku bunga kredit sekitar 30 bps. Ini menunjukkan adanya kecenderungan bank untuk menyerap sebagian beban saat suku bunga naik, sehingga ketika suku bunga turun, penyesuaian juga dilakukan secara bertahap demi menjaga keseimbangan margin. Josua menegaskan bahwa kelambanan penurunan bunga kredit perbankan saat ini bukanlah indikasi bank tidak merespons kebijakan Bank Indonesia, melainkan ada pertimbangan struktural yang mendasari. Pertimbangan tersebut meliputi keharusan menjaga likuiditas, mengantisipasi berbagai risiko baik global maupun domestik, serta memastikan kesehatan neraca keuangan secara keseluruhan.
Melihat ke depan, tekanan bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit diproyeksikan akan semakin besar. Hal ini didorong oleh koordinasi aktif dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pemerintah, ditambah dengan potensi perlambatan pertumbuhan kredit yang semakin tajam. Namun demikian, Josua Pardede memproyeksikan bahwa penurunan tersebut kemungkinan akan tetap berlangsung secara bertahap, bukan drastis, senantiasa mengikuti dinamika perekonomian dan stabilitas pasar keuangan. Ini menegaskan bahwa perbankan akan terus menjaga keseimbangan antara respons kebijakan moneter dan kehati-hatian dalam mengelola portofolio pinjaman mereka.