Kebijakan tarif baru yang dicanangkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, menargetkan puluhan mitra dagang utama, telah sukses mengguncang sendi-sendi Wall Street dan pasar saham global pada Jumat (1/8). Keputusan yang berdampak luas ini sontak memicu gelombang reaksi cepat dari berbagai negara dan perusahaan di seluruh dunia, yang bergegas mencari kesepakatan dagang yang lebih menguntungkan.
Mengutip laporan Reuters, ketika Trump bertekad mewujudkan rencananya untuk merestrukturisasi perekonomian global dengan memberlakukan tarif tertinggi sejak era 1930-an, banyak negara menyatakan keberatan keras. Swiss, misalnya, yang menyatakan “terkejut” dengan tarif 39 persen, langsung mengajukan permintaan negosiasi ulang. Senada, India yang juga terkena tarif 25 persen, mengambil langkah serupa.
Kebijakan tarif impor AS yang baru ini juga mencakup bea masuk sebesar 35 persen untuk beragam produk dari Kanada, 50 persen untuk Brasil, dan 20 persen untuk Taiwan. Pemerintah Taiwan sendiri mengklaim tarif tersebut bersifat “sementara” dan berharap dapat mencapai angka yang lebih rendah dalam waktu dekat. Berdasarkan dokumen resmi Gedung Putih, rentang tarif baru ini bervariasi antara 10 persen hingga 41 persen dan akan mulai diberlakukan pada 7 Agustus untuk total 69 mitra dagang. Analis dari Capital Economics memperkirakan, kebijakan agresif ini akan meningkatkan tarif efektif AS menjadi sekitar 18 persen, lonjakan signifikan dari angka sebelumnya yang hanya 2,3 persen pada tahun lalu.
Wall Steet Melemah
Pada Jumat (1/8), bursa saham AS terpukul mundur secara signifikan. Indeks Dow Jones Industrial Average (.DJI) ditutup melemah 1,23 persen, mencapai level 43.588,58. Sementara itu, S&P 500 (.SPX) merosot 1,6 persen ke 6.238,01, dan Nasdaq Composite (.IXIC) anjlok 2,24 persen menjadi 20.650,13. Gejolak ini tak hanya terbatas di AS; saham global turut goyah, dengan indeks STOXX 600 Eropa anjlok 1,8 persen dalam satu hari perdagangan.
Pasar juga memberikan reaksi negatif terhadap data ketenagakerjaan AS yang mengecewakan. Laporan menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan kerja di AS pada Juli melambat lebih dari perkiraan, ditambah lagi data bulan sebelumnya direvisi tajam ke bawah, mengindikasikan perlambatan yang jelas di pasar tenaga kerja. Merespons data tersebut, Presiden Trump bahkan memerintahkan pemecatan Kepala Biro Statistik Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja, Erika McEntarfer, sambil menuding tanpa bukti bahwa data ketenagakerjaan tersebut direkayasa. Di tengah ketegangan ini, negosiator Kanada mengisyaratkan bahwa kesepakatan dagang dengan AS kemungkinan masih membutuhkan waktu beberapa minggu lagi untuk mencapai penyelesaian.
Kebijakan tarif baru ini semakin menambah lapisan ketidakpastian, mengingat banyaknya detail implementasi yang masih belum jelas. Seorang pejabat Gedung Putih hanya menyatakan bahwa tarif akan mulai berlaku pada 7 Agustus pukul 04.01 waktu AS. “Ketidakpastian seputar tarif ini sangat penting untuk mendapatkan posisi tawar yang kami butuhkan agar presiden dapat menciptakan kesepakatan dagang yang telah kita saksikan dalam beberapa minggu terakhir, yang tidak kurang dari monumental,” jelas Stephen Miran, Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih.
Uni Eropa, yang baru saja mencapai kesepakatan kerangka kerja dengan Trump pada hari Minggu (3/8), menyatakan masih menunggu instruksi lanjutan dari Trump untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut, termasuk terkait sektor mobil dan pesawat. Pejabat UE menegaskan bahwa perintah eksekutif terbaru belum mencakup aspek-aspek krusial tersebut. Selain itu, masih belum ada kejelasan mengenai bagaimana pemerintahan Trump akan mendefinisikan dan mengawasi aturan pembatasan transshipment, yang mengancam tarif hingga 40 persen terhadap eksportir yang dianggap menyamarkan asal barang, seperti produk dari China, sebagai produk dari negara lain.
Penerapan tarif ini juga terjadi di tengah bukti bahwa kebijakan proteksionis tersebut mulai mendorong kenaikan harga barang di pasar domestik AS. Data Departemen Perdagangan AS yang dirilis Kamis menunjukkan harga furnitur rumah tangga dan peralatan tahan lama naik 1,3 persen pada Juni, menandai kenaikan tertinggi sejak Maret 2022. Fenomena ini mengindikasikan tekanan inflasi yang berasal dari bea masuk.
Menanggapi beban tarif tinggi, sejumlah negara yang terdampak menyatakan tekad mereka untuk mencoba bernegosiasi dengan AS demi mendapatkan tarif yang lebih rendah. Swiss secara terbuka menyatakan akan mendorong tercapainya “solusi yang dinegosiasikan” dengan AS. Senada, Menteri Perdagangan Afrika Selatan, Parks Tau, menegaskan bahwa pihaknya sedang mencari “intervensi nyata dan praktis” untuk melindungi lapangan kerja dan ekonomi negaranya dari tarif AS sebesar 30 persen yang kini diberlakukan.
Di sisi lain, negara-negara Asia Tenggara justru merasa lega setelah tarif ekspor mereka ke AS ternyata lebih rendah dari yang semula diancamkan. Kondisi ini kini menciptakan level persaingan yang relatif setara dengan rata-rata tarif sekitar 19 persen bagi negara-negara ekonomi terbesar di kawasan tersebut. Menteri Keuangan Thailand, Pichai Chunhavajira, menyambut baik penurunan tarif dari 36 persen menjadi 19 persen, yang menurutnya akan sangat membantu perekonomian negaranya. “Ini membantu menjaga daya saing Thailand di kancah global, meningkatkan kepercayaan investor, serta membuka peluang pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan, dan kesempatan baru,” ujar Pichai.
Produk-produk Australia juga diperkirakan akan menjadi lebih kompetitif di pasar AS setelah Presiden Trump mempertahankan tarif minimum sebesar 10 persen untuk Australia. Namun demikian, para pelaku bisnis dan analis pasar secara luas menilai bahwa kebijakan perdagangan baru Trump secara keseluruhan tidak akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi global. “Tidak ada pemenang sejati dalam konflik dagang. Meski beberapa negara memperoleh ketentuan yang lebih baik, dampak keseluruhannya tetap negatif,” ujar Thomas Rupf, Co-Head untuk wilayah Singapura dan CIO Asia di VP Bank.
Sentimen serupa juga diungkapkan Johannes Selbach, seorang pembuat anggur di Lembah Moselle, Jerman, yang menyatakan, “Tarif ini merugikan Amerika dan juga merugikan kami.” Ia menambahkan bahwa baik lapangan kerja maupun keuntungan di kedua sisi Atlantik akan sama-sama terkena dampaknya. Sebagai respons adaptif, perusahaan kosmetik L’Oreal serta semakin banyak perusahaan mode dan kosmetik asal Eropa kini mulai mempertimbangkan penggunaan salah satu klausul lama dalam bea cukai AS yang dikenal dengan nama aturan “First Sale” sebagai cara untuk mengurangi dampak tarif. Aturan “First Sale” ini memungkinkan perusahaan membayar bea masuk yang lebih rendah dengan menghitung tarif berdasarkan nilai barang saat keluar dari pabrik, yang notabene jauh lebih rendah dibanding harga ecerannya di pasar.
Ringkasan
Kebijakan tarif baru yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump mengguncang pasar saham global dan Wall Street. Langkah ini memicu reaksi keras dari berbagai negara yang merasa dirugikan dan berusaha untuk bernegosiasi ulang. Kebijakan tarif impor AS mencakup bea masuk bervariasi untuk berbagai produk dari negara-negara seperti Swiss, India, Kanada, Brasil, dan Taiwan, yang mulai berlaku pada 7 Agustus.
Bursa saham AS mengalami penurunan signifikan dengan indeks Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq Composite anjlok. Pasar tenaga kerja AS juga menunjukkan perlambatan. Beberapa negara yang terdampak berusaha untuk bernegosiasi, sementara negara-negara Asia Tenggara merasa lega karena tarif ekspor mereka lebih rendah dari yang diancamkan. Secara umum, kebijakan ini dinilai berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi global.