Bursa saham Amerika Serikat (AS), yang akrab disebut Wall Street, menutup perdagangan Kamis (16/10) waktu setempat dengan pelemahan signifikan. Sentimen negatif ini sebagian besar diseret oleh anjloknya sektor keuangan, menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor.
Ketiga indeks utama Wall Street, yang sebelumnya sempat menguat di awal sesi, semuanya berbalik arah dan mengakhiri perdagangan di zona merah. Indeks Dow Jones Industrial Average tergelincir 301,07 poin atau 0,65 persen ke level 45.952,24. Sementara itu, Indeks S&P 500 merosot 41,98 poin atau 0,63 persen menjadi 6.629,08, dan Nasdaq Composite turut melemah 107,54 poin atau 0,47 persen ke posisi 22.562,54.
Tekanan utama yang membebani pasar datang dari kinerja saham perbankan. Laporan mengecewakan dari Travelers (TRV.N) dan pengumuman kerugian sebesar USD 50 juta pada kuartal ketiga oleh Zions Bancorp (ZION.O) menjadi pemicu utama. Akibatnya, indeks keuangan (.SPXBK) anjlok tajam hingga 2,75 persen.
Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services di Hammond, Indiana, mengamati bahwa di tengah minimnya rilis data penting, kinerja bank-bank besar kerap menjadi “pengganti data” yang memicu pergerakan pasar. Selain itu, ia juga menyoroti kondisi dolar AS yang cukup lemah dan terpuruknya aset kripto pada hari tersebut.
Di sisi lain, tanda-tanda pelemahan di pasar tenaga kerja AS semakin memperkuat ekspektasi para pelaku pasar akan pemangkasan suku bunga acuan oleh Federal Reserve (The Fed). Gubernur The Fed, Christopher Waller, secara eksplisit menyatakan bahwa berdasarkan semua data yang tersedia, The Fed semestinya menurunkan suku bunga kebijakan sebesar 25 basis poin lagi.
Tidak hanya faktor domestik, investor juga masih terus mencermati perkembangan ketegangan dagang AS-Tiongkok. Washington secara terbuka mengecam kebijakan Beijing yang memperluas kontrol ekspor atas logam tanah jarang (rare earths), sementara Tiongkok membalas dengan menuding AS telah menciptakan kepanikan global terkait rantai pasok.
Ketidakpastian yang dipicu oleh ketegangan geopolitik ini mendorong investor untuk beralih ke aset lindung nilai. Sebagai respons, harga emas spot melonjak signifikan hingga 2,4 persen, mencapai level USD 4.308,51 per troy ounce. Bahkan, emas berjangka AS naik 2,95 persen menjadi USD 4.300 per troy ounce, menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Menurut Sam Stovall, Chief Investment Strategist di CFRA Research, peningkatan pembelian emas oleh bank sentral dunia menjadi indikasi kuat dari kondisi global saat ini. “Karena ketegangan perdagangan, banyak bank sentral global membeli emas dan hal itu dibantu oleh suku bunga yang lebih rendah serta melemahnya dolar AS,” jelasnya, menguraikan faktor-faktor yang mendorong lonjakan harga komoditas berharga tersebut.
Di pasar uang, dolar AS terpantau melemah terhadap mata uang utama lainnya, seperti euro dan yen. Indeks dolar turun 0,33 persen ke posisi 98,35, sementara euro berhasil menguat 0,36 persen ke level USD 1,1688, menunjukkan pergeseran kekuatan mata uang.
Kekhawatiran investor terhadap risiko ekonomi yang meningkat juga tercermin dari penurunan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Yield obligasi tenor 10 tahun turun 6,9 basis poin menjadi 3,976 persen. Lebih lanjut, yield obligasi 2 tahun, yang sangat sensitif terhadap kebijakan suku bunga, turun 8,4 basis poin ke 3,422 persen, menandai level terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir.