Ifonti.com – JAKARTA – Jelang libur akhir tahun, masyarakat dihimbau untuk lebih waspada terhadap kejahatan siber (cyber crime), terutama yang menyasar sistem pembayaran digital. Imbauan ini disampaikan oleh Kepala Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI), Farida Peranginangin, mengingat periode liburan seringkali dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk melancarkan aksinya.
Lonjakan volume transaksi selama masa libur menjadi alasan utama mengapa para penipu semakin aktif. “Saya sering bergurau dengan teman-teman di Bank Indonesia, ‘Every time we have holiday, it’s a harvesting time for the fraudster (setiap kali kita libur, itu adalah waktu panen bagi penipu)’,” ujar Farida di Jakarta, Selasa (18/11/2025). Pernyataan ini menggambarkan bahwa masa liburan yang seharusnya dinikmati dengan tenang, justru menjadi momen rawan kejahatan.
Transformasi signifikan dalam lanskap keuangan Indonesia, didorong oleh masifnya digitalisasi, turut memicu peningkatan risiko kejahatan siber. Mulai dari QRIS, BI-FAST, mobile banking, hingga pinjaman daring (fintech lending), berbagai inovasi ini telah mengubah cara masyarakat bertransaksi.
Namun, Farida mengakui bahwa interkoneksi yang semakin erat antar pelaku dalam ekosistem pembayaran juga meningkatkan potensi paparan terhadap ancaman siber. “Serangan siber, kebocoran data, dan aktivitas penipuan ini meningkat, baik dari sisi transaksi maupun kompleksitas,” jelasnya.
Sektor keuangan secara global memang menjadi target utama serangan siber. Satu insiden saja dapat mengikis kepercayaan masyarakat, mengganggu stabilitas ekonomi, bahkan memicu risiko sistemik jika tidak ditangani dengan tepat. Oleh karena itu, keamanan data nasabah dan sistem pembayaran bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan fondasi utama bagi para pelaku jasa keuangan dalam berinovasi.
Meskipun BI dan regulator lainnya, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait keamanan siber, industri jasa keuangan masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah fragmentasi standar keamanan antar lembaga keuangan dan keterbatasan talenta di bidang keamanan siber.
“Kebutuhan akan profesional di bidang keamanan siber tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan ketersediaan talenta yang siap pakai,” ungkap Farida. Selain itu, ancaman siber kini bersifat lintas negara atau global, sehingga pelaku jasa keuangan perlu menyeimbangkan antara kecepatan inovasi dan perlindungan data.
Menyadari kompleksitas tantangan ini, Farida menekankan bahwa tidak ada satu lembaga pun yang dapat bekerja sendiri. Ia mendorong semua pihak untuk berinvestasi pada sumber daya manusia (SDM) dan membangun budaya keamanan yang kuat. Penerapan prinsip security by design dalam setiap inovasi, serta penguatan kolaborasi antar lembaga, juga menjadi kunci penting.
“Keamanan adalah fondasi kepercayaan. Tanpa keamanan, seluruh kemajuan digital akan kehilangan maknanya. Kita tidak perlu memilih, dan tidak sepatutnya memilih, antara kemajuan atau keamanan. Inovasi dan keamanan harus selalu berjalan beriringan,” pungkasnya. Dengan meningkatkan kewaspadaan dan memperkuat sistem keamanan, diharapkan masyarakat dapat menikmati libur akhir tahun dengan lebih tenang dan aman dari ancaman cyber crime.
Ringkasan
Bank Indonesia (BI) mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap ancaman kejahatan siber (cyber crime) selama libur akhir tahun, terutama yang menargetkan sistem pembayaran digital. Peningkatan volume transaksi di masa liburan dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan, dan digitalisasi sistem keuangan juga memicu peningkatan risiko serangan siber, kebocoran data, dan penipuan.
BI menekankan pentingnya investasi pada sumber daya manusia (SDM) keamanan siber, pembangunan budaya keamanan yang kuat, dan kolaborasi antar lembaga. Keamanan data nasabah dan sistem pembayaran adalah fondasi utama, dan inovasi harus berjalan beriringan dengan keamanan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan digital.