Perjalanan transformasi hijau PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) kini mulai membuahkan hasil konkret, menandai tahun 2025 sebagai momentum krusial untuk penguatan fondasi bisnis berkelanjutan. Direktur TBS Energi Utama, Juli Oktarina, menjelaskan bahwa fase ini menjadi landasan penting bagi visi perusahaan.
Segmen pengelolaan limbah, atau waste management, muncul sebagai pilar utama, menyumbangkan kontribusi signifikan sekitar 39% dari total pendapatan perusahaan. Angka ini mencerminkan lonjakan luar biasa sebesar 1.048% dibandingkan tahun sebelumnya, menunjukkan pertumbuhan yang agresif dan strategis. Dua pilar lainnya, yakni kendaraan listrik dan energi terbarukan, turut memperkokoh ekosistem bisnis yang berorientasi pada masa depan ini. Kinerja impresif TOBA pada periode ini juga menandai fase konsolidasi yang matang pasca-divestasi dua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) miliknya di awal tahun.
Dalam laporan keuangan Kuartal III-2025, TOBA membukukan pendapatan sebesar US$ 288,17 juta selama sembilan bulan. Dari jumlah tersebut, segmen pengelolaan limbah menyumbang pendapatan sebesar US$ 111,92 juta, menegaskan perannya sebagai motor utama pertumbuhan.
Bisnis pengelolaan limbah perusahaan, yang dioperasikan melalui Cora Environment (sebelumnya dikenal sebagai Sembcorp Environment), saat ini mengelola hampir satu juta ton limbah setiap tahunnya. Dengan lebih dari 700 tenaga kerja dan 300 armada operasional, Cora Environment beroperasi di Singapura dan Indonesia, menunjukkan skala operasional yang luas.
Lebih lanjut, Cora Environment menjadi ujung tombak ekspansi regional TOBA, dengan rencana investasi senilai lebih dari S$ 200 juta dalam lima tahun ke depan. Investasi ini bertujuan untuk memperkuat jaringan pengelolaan limbah di seluruh Asia Tenggara. Selain Cora, bisnis pengolahan limbah TOBA juga mencakup Asia Medical Enviro Services (AMES) dan ARAH Environmental, yang berfokus pada penanganan limbah medis di Singapura dan Indonesia.
Analis NH Korindo Sekuritas, Leonardo Lijuwardi, menyoroti pentingnya porsi bisnis non-batubara sebagai tolok ukur transformasi TOBA. Menurutnya, fokus perusahaan pada pengelolaan limbah dan kendaraan listrik merupakan strategi yang realistis dalam menghadapi menurunnya daya tarik sektor batu bara. “Model bisnis TBS kini bergerak di jalur yang lebih future-proof. Mereka tidak lagi bergantung pada siklus komoditas, tetapi pada recurring revenue yang berbasis layanan dan keberlanjutan,” jelasnya.
Di sektor transportasi rendah emisi, anak usaha TOBA, Electrum, mencatat pencapaian signifikan. Hingga September 2025, lebih dari 6.400 unit motor listrik telah beroperasi, didukung oleh lebih dari 364 stasiun penukaran baterai aktif. Jumlah motor listrik yang beroperasi tumbuh dua kali lipat secara tahunan, sementara stasiun penukaran baterai meningkat sekitar 54%. Ekspansi ini berhasil mengurangi emisi CO2 sebesar 25 ton per hari, mendukung upaya lingkungan yang berkelanjutan.
Sementara itu, di sektor energi bersih, TOBA telah menyelesaikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTMH) Sumber Jaya berkapasitas 6 MW di Lampung, yang telah beroperasi penuh sejak Januari 2025. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Tembesi berkapasitas 46 MWp di Batam juga menunjukkan progres konstruksi yang signifikan dan ditargetkan akan mencapai commercial operation date (COD) pada pertengahan 2026. Tak hanya itu, TBS juga memiliki lini proyek untuk membangun pembangkit listrik hijau dengan total kapasitas di atas 370 MW hingga tahun 2030 mendatang.
Leonardo Lijuwardi menilai, proyek-proyek ini memperkuat posisi TOBA sebagai pionir korporasi yang fokus pada pengalihan modal ke bisnis hijau. “Kalau dilihat dari pipeline proyek terbarukan TBS, jelas mereka menargetkan pertumbuhan organik yang konsisten hingga 2030. Ini langkah konkret, bukan simbolik,” ujarnya.
Secara keseluruhan, transformasi TBS kini berdiri di atas tiga fondasi strategis: waste management, EV ecosystem, dan renewable energy. Ketiga pilar ini secara kolektif mendukung target perusahaan untuk mencapai netral karbon pada tahun 2030. Dengan kondisi kas yang kuat sebesar US$ 89 juta dan struktur utang yang sehat dengan debt to equity ratio (DER) di bawah dua kali, TBS memiliki kapasitas ekspansi yang luas tanpa membebani neraca keuangannya.
Leo menyebut transformasi TBS sebagai salah satu contoh paling progresif di sektor energi Indonesia. “Mereka sudah menutup pintu masa lalu berbasis batu bara, dan membuka tiga pintu baru yang semuanya berorientasi keberlanjutan. Jika strategi ini konsisten, valuasi pasar TBS bisa mencerminkan premium ESG di masa depan,” pungkasnya.