Gelombang demonstrasi anti-pemerintah di Antananarivo, ibu kota Madagaskar, mencapai titik kritis ketika beberapa kelompok tentara Madagaskar secara mengejutkan bergabung dengan ribuan pengunjuk rasa. Aksi menentang pemerintahan Presiden Andry Rajoelina ini semakin mendapatkan momentum, bahkan pihak kepresidenan pada Minggu (12/10) mengklaim adanya upaya perebutan kekuasaan yang ilegal dan paksa.
Dipimpin oleh kaum muda, para pengunjuk rasa membanjiri Lapangan 13 Mei di jantung ibu kota pada Sabtu (11/10) waktu setempat. Gerakan ini, yang terinspirasi oleh protes Gen Z di Kenya dan Nepal, merupakan manifestasi kemarahan publik yang mendalam atas masalah krusial seperti kekurangan listrik dan air. Meskipun demikian, pihak kepolisian berupaya membubarkan kerumunan dengan menggunakan granat kejut dan gas air mata. Demonstrasi pada Sabtu tersebut menandai puncak dari serangkaian unjuk rasa yang dimulai sejak 25 September, menghadirkan tantangan paling serius bagi pemerintahan Rajoelina sejak pemilihan ulangnya pada 2023.
Yang lebih mencengangkan, unit elit CAPSAT, kelompok militer yang justru membantu Andry Rajoelina merebut kekuasaan melalui kudeta 2009, kini berbalik arah. Dalam sebuah pertemuan di barak tentara di pinggiran kota, mereka menyerukan solidaritas kepada sesama prajurit untuk tidak mematuhi perintah dan mendukung protes dipimpin pemuda yang menuntut pengunduran diri presiden. “Mari kita bersatu, TNI, polisi, dan aparat penegak hukum, dan tolak bayaran untuk menembak teman, saudara, dan saudari kita,” tegas para prajurit dari pangkalan di distrik Soanierana dalam video yang viral di media sosial. Mereka bahkan menginstruksikan pasukan di bandara untuk melarang semua pesawat lepas landas dan prajurit di kamp lain untuk menolak perintah menembak demonstran, dengan pesan lugas: “Jangan patuhi perintah atasan kalian. Arahkan senjata kalian kepada mereka yang memerintahkan kalian untuk menembak rekan seperjuangan kalian karena mereka tidak akan mengurus keluarga jika kami mati.” Video media lokal kemudian memperlihatkan sejumlah tentara meninggalkan barak mereka, bergerak mengawal pengunjuk rasa menuju Lapangan 13 Mei, menegaskan perpecahan dalam tubuh militer.
Menanggapi situasi yang kian genting, Menteri Angkatan Bersenjata Madagaskar yang baru, Jenderal Deramasinjaka Manantsoa Rakotoarivelo, mendesak para prajurit untuk tetap tenang dan memprioritaskan dialog. Dalam konferensi pers, ia menyatakan, “Tentara Madagaskar tetap menjadi mediator dan merupakan garis pertahanan terakhir bangsa.” Namun, imbauan ini kontras dengan kenyataan di lapangan, di mana pada Kamis (9/10), pasukan keamanan telah membubarkan pengunjuk rasa dengan brutal, menggunakan gas air mata, peluru karet, dan bahkan kendaraan lapis baja, mengakibatkan sejumlah orang terluka.
Bukti kekerasan polisi yang tak proporsional menyebar luas dan viral di media sosial, termasuk rekaman mengerikan seorang pria yang tergeletak tak sadarkan diri setelah dikejar dan dipukuli oleh pasukan keamanan, sebuah insiden yang disaksikan langsung oleh wartawan AFP. Prihatin atas eskalasi ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (10/10) mengeluarkan pernyataan mendesak, menyerukan kepada pihak berwenang untuk menghentikan penggunaan kekerasan yang tidak perlu dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk hak untuk berserikat bebas dan berkumpul secara damai. PBB melaporkan bahwa sedikitnya 22 orang tewas dan 100 lainnya terluka dalam rangkaian protes ini, meskipun Presiden Rajoelina membantah angka tersebut. Pada Rabu (8/10), ia hanya mengonfirmasi 12 korban jiwa, bersikeras bahwa mereka semua adalah “penjarah dan pelaku vandalisme.”
Menariknya, Presiden Rajoelina awalnya mencoba menanggapi protes dengan nada damai, bahkan memecat seluruh menterinya. Namun, sikap akomodatif itu berubah drastis tak lama kemudian. Pada Senin, ia menunjuk perwira militer Ruphin Fortunat Zafisambo sebagai perdana menteri dan mulai membentuk kabinet baru yang diisi oleh individu-individu dari kalangan angkatan bersenjata, keamanan publik, dan kepolisian, sebuah langkah yang mengindikasikan penguatan kontrol militer di tengah krisis politik.
Sebagai salah satu negara termiskin di dunia, Madagaskar memiliki sejarah panjang pemberontakan rakyat dan instabilitas politik sejak kemerdekaannya dari Prancis pada 1960. Krisis politik saat ini bukanlah yang pertama; pada 2009, protes massal pernah memaksa Presiden Marc Ravalomanana lengser, membuka jalan bagi Andry Rajoelina untuk naik ke tampuk kekuasaan melalui dukungan militer. Setelah masa jabatan pertamanya, Rajoelina memenangkan pemilihan umum ulang pada 2018 dan kembali pada 2023, meskipun pemilihan terakhir tersebut diwarnai oleh boikot kuat dari pihak oposisi, menyisakan pertanyaan besar tentang legitimasi pemerintahannya.
Ringkasan
Gelombang demonstrasi anti-pemerintah melanda Antananarivo, Madagaskar, dengan bergabungnya tentara dan ribuan pengunjuk rasa. Aksi ini menentang pemerintahan Presiden Andry Rajoelina, yang kemudian menuduh adanya upaya perebutan kekuasaan ilegal. Demonstrasi, dipicu oleh masalah seperti kekurangan listrik dan air, semakin memanas dan menjadi tantangan serius bagi pemerintahan Rajoelina.
Unit elit CAPSAT, yang dulu mendukung Rajoelina, kini berbalik arah dan menyerukan solidaritas untuk mendukung protes yang menuntut pengunduran diri presiden. PBB telah mengeluarkan pernyataan, mengimbau penghentian kekerasan setelah pasukan keamanan membubarkan pengunjuk rasa. Madagaskar, negara termiskin dengan sejarah panjang instabilitas, kembali menghadapi krisis politik yang mendalam.