Janji Trump Beri ‘Dividen Tarif’ Rp 33,3 Juta Bagi Warga AS, Begini Skemanya

Presiden Donald Trump kembali menggemparkan publik dengan janji ambisiusnya: memberikan dividen tarif senilai USD 2.000, setara sekitar Rp 33,3 juta (dengan kurs Rp 16.667 per dolar AS), langsung kepada setiap warga Amerika Serikat yang tidak berpenghasilan tinggi. Sebuah langkah yang diklaim akan memperkuat posisi ekonomi AS secara signifikan.

Melalui platform TruthSocial pribadinya (@real.DonalTrump), Trump dengan tegas mengutarakan pembelaannya terhadap kebijakan tarif resiprokal yang ia usung. “Orang-orang yang menentang kebijakan tarif ini bodoh. Kita saat ini adalah negara terkaya dan paling disegani di dunia, dengan inflasi yang hampir tidak ada dan rekor pasar modal [USD] 401.000 tertinggi sepanjang sejarah,” tulisnya.

Ia menambahkan bahwa Amerika sedang “mengantongi triliunan dolar” dari kebijakan ini, yang menurutnya akan segera melunasi utang nasional sebesar USD 37 triliun. Trump juga menyoroti rekor investasi di AS yang mendorong pembangunan di berbagai daerah, menegaskan bahwa ‘dividen’ setidaknya USD 2.000 per orang akan dibayarkan kepada semua orang, kecuali mereka yang berpenghasilan tinggi.

Skema Pemberian ‘Dividen Tarif’

Wacana mengenai dividen tarif ini bukan sekadar janji kosong. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengungkapkan bahwa inisiatif tersebut merupakan bagian integral dari rancangan undang-undang kebijakan ekonomi Trump yang direncanakan akan disahkan pada awal tahun 2025.

Meskipun Bessent dalam wawancara dengan ABC, seperti dikutip oleh Bloomberg, mengakui belum membahas ide ini secara langsung dengan Trump, ia menjelaskan bahwa implementasinya bisa dilakukan melalui berbagai skema pemotongan pajak. “Bisa jadi lewat pengurangan pajak yang sudah ada di agenda presiden, tidak ada pajak atas tip, tidak ada pajak atas lembur, tidak ada pajak atas Jaminan Sosial, serta potongan untuk pinjaman mobil,” jelas Bessent, dikutip dari Bloomberg pada Senin (10/11).

Pernyataan ini muncul di tengah intensifnya pembelaan Trump terhadap kebijakan tarif impornya, terutama setelah Mahkamah Agung AS mendengarkan gugatan untuk membatalkan kebijakan tersebut pada 5 November lalu.

Menentang Perang Tarif Disebut Bencana Bagi AS

Di tengah upaya pembelaannya, Trump sendiri menyebut putusan Mahkamah Agung yang menentang kebijakan tarifnya sebagai “bencana” besar bagi AS. Kebijakan yang kini digugat itu mencakup “tarif Hari Kemerdekaan” yang diumumkan pada 2 April 2025, memberlakukan bea masuk 10 hingga 50 persen terhadap sebagian besar impor AS, bervariasi tergantung negara asalnya.

Trump bersikeras bahwa kebijakan tarif ini sangat vital untuk mengatasi defisit perdagangan nasional yang telah berlangsung lama. Namun, salah satu poin utama dalam gugatan tersebut mempertanyakan apakah pendapatan yang diperoleh dari tarif dapat dikategorikan sebagai pajak de facto. Isu ini menjadi krusial mengingat pandangan Ketua Hakim Mahkamah Agung, John Roberts, yang berpendapat bahwa pemungutan pajak seharusnya menjadi kewenangan utama Kongres.

Menanggapi klaim berulang Trump tentang triliunan dolar yang diterima AS dari kebijakan tarif untuk melunasi utang nasional sebesar USD 37 triliun, Menteri Keuangan Scott Bessent memberikan klarifikasi. Bessent menegaskan bahwa tujuan utama dari kebijakan tarif bukan semata-mata untuk penerimaan negara, meskipun potensi pendapatan triliunan dolar dalam beberapa tahun ke depan memang ada. “Namun, tujuan sebenarnya dari tarif adalah untuk menyeimbangkan kembali perdagangan dan membuatnya lebih adil,” pungkasnya.

Reporter: Nur Pangesti