
JAKARTA – Wacana redenominasi Rupiah kembali mencuat, namun Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa proses penyederhanaan nilai mata uang ini bukanlah langkah instan. Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa tahapan implementasi redenominasi bisa memakan waktu hingga 5 sampai 6 tahun, sebuah periode yang panjang dan membutuhkan persiapan matang.
Perry Warjiyo menjelaskan secara rinci empat tahapan krusial yang harus dilalui sebelum Rupiah dapat diredenominasi. Pertama, diperlukan payung hukum khusus berupa Undang-Undang (UU) Redenominasi Rupiah. Regulasi ini menjadi fondasi legal yang akan mengatur seluruh proses. Kedua, setelah kerangka hukum terbentuk, pemerintah dan BI harus menyusun aturan ketat mengenai transparansi harga. Hal ini penting untuk mencegah kebingungan dan distorsi pasar saat nilai nominal baru mulai diperkenalkan kepada masyarakat.
Ketiga, Bank Indonesia akan mempersiapkan desain dan pencetakan uang baru yang sesuai dengan nominal yang diredenominasi. Keempat, tahapan terakhir adalah memastikan uang lama dan uang baru dapat beredar secara paralel selama masa transisi. “Itu perlu kurang lebih 5 sampai 6 tahun dari sejak undang-undang sampai kemudian selesai,” jelas Perry dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD pada Senin (17/11/2025).
Perry juga menekankan perbedaan mendasar antara redenominasi dan sanering. Redenominasi Rupiah merupakan penyederhanaan nilai tanpa mengurangi daya beli masyarakat, berbeda dengan sanering yang merupakan pemotongan nilai mata uang. Sebagai ilustrasi, Perry memberikan contoh: “Kami beli kopi, satu gelas. Pakai uang lama Rp25.000, bisa pakai uang baru 25k. Sama-sama, satu gelas kopi ini.” Hal ini menjamin bahwa masyarakat tidak akan mengalami kerugian nilai dari aset atau transaksi mereka.
Meskipun demikian, Perry Warjiyo, yang telah memimpin bank sentral selama dua periode, menegaskan bahwa saat ini BI belum memfokuskan sumber dayanya pada pengerjaan redenominasi Rupiah. “Kami fokus stabilitas [keuangan] dan pertumbuhan [ekonomi]. Kan tadi sudah saya sampaikan, redenominasi tahapannya panjang,” tambahnya, menandakan prioritas BI tetap pada kondisi makroekonomi.
Wacana redenominasi memang bukan hal baru; kebijakan ini telah dikaji sejak tahun 2010 namun selalu tertunda. Pada tahun 2023, BI kembali menyatakan bahwa implementasi redenominasi masih menunggu momentum yang tepat dan belum akan direalisasikan dalam waktu dekat. Ini menunjukkan kehati-hatian dalam mengambil keputusan penting terkait mata uang.
Namun, perkembangan terbaru datang dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang telah memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah ke dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2025-2029, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/2025. Rencananya, beleid ini ditargetkan selesai pada tahun 2026. Langkah ini mengindikasikan bahwa meskipun prosesnya panjang, persiapan legalitas sudah mulai digarap di tingkat pemerintah.
Pembahasan RUU ini memiliki empat tujuan utama. Pertama, tercapainya efisiensi perekonomian melalui peningkatan daya saing nasional. Kedua, terjaganya kesinambungan perkembangan perekonomian nasional. Ketiga, terjaganya nilai Rupiah yang stabil sebagai wujud terpeliharanya daya beli masyarakat. Keempat, meningkatkan kredibilitas Rupiah di mata dunia.
Purbaya sendiri mengungkapkan bahwa kebijakan redenominasi Rupiah akan sepenuhnya dijalankan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Ia juga menegaskan bahwa realisasi kebijakan tersebut akan dilakukan sesuai kebutuhan BI. “Redenom [redenominasi] itu kebijakan bank sentral, dan dia nanti akan terapkan sesuai dengan kebutuhan pada waktunya, tetapi [realisasi redenominasi] enggak sekarang, enggak tahun depan,” ungkap Purbaya usai mengisi Dies Natalies ke-71 Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Senin (10/11/2025). Pernyataan ini menegaskan bahwa meskipun RUU sudah masuk Renstra, implementasi aktual masih berada di tangan BI dan belum dalam waktu dekat.