Jakarta, IDN Times – Bank Indonesia (BI) kembali membuka lebar peluang untuk melanjutkan pemangkasan suku bunga acuan atau BI-Rate pada tahun ini. Hingga kini, sepanjang tahun 2025, BI telah empat kali memangkas suku bunga acuannya, yakni pada Januari, Mei, Juli, dan Agustus. Setiap pemangkasan sebesar 25 basis poin (bps), membawa BI-Rate ke level 5 persen, yang merupakan titik terendah sejak November 2022.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menegaskan bahwa pihaknya akan terus mempertimbangkan ruang untuk pemangkasan lanjutan. Kebijakan ini diambil guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, sejalan dengan kapasitas perekonomian Indonesia yang dinilai masih cukup besar. “Artinya, kapasitas perekonomian kita masih lebih besar dari permintaan. Karena itu, kami telah menurunkan suku bunga sebanyak empat kali, dan akan terus mencermati kemungkinan penurunan lanjutan,” ungkap Perry dalam konferensi pers virtual pasca-Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Rabu (20/8/2025).
Potensi pemangkasan suku bunga lanjutan ini akan sangat bergantung pada beberapa faktor kunci. Perry menjelaskan, kondisi inflasi yang tetap rendah serta stabilitas nilai tukar rupiah yang selaras dengan fundamental ekonomi akan menjadi pertimbangan utama. Namun, Bank Indonesia juga menyoroti tingginya ketidakpastian global yang masih membayangi, khususnya dampak dari kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS).
Sejak 7 Agustus 2025, AS tercatat telah memperluas cakupan negara yang dikenai tarif resiprokal dari 44 menjadi 70 negara. Beberapa negara bahkan mengalami peningkatan tarif yang lebih tinggi dari pengumuman awal, seperti India dan Swiss. Perry memperingatkan bahwa kebijakan ini berisiko besar menekan pertumbuhan ekonomi global secara signifikan. Meski demikian, setelah melalui negosiasi, Indonesia dikenakan tarif sebesar 19 persen, angka yang lebih rendah dari proyeksi awal 32 persen.
“Situasinya sulit diprediksi. Pengenaan tarif ini tentu akan memengaruhi kinerja ekspor dan dapat menurunkan volume perdagangan antarnegara,” jelas Perry, menekankan pentingnya kewaspadaan seluruh pihak terhadap dampak lanjutan dari kebijakan global tersebut.
Dalam kaitannya dengan inflasi, BI memproyeksikan inflasi inti pada tahun 2025 dan 2026 akan tetap berada dalam kisaran target rendah, yakni antara 1,5 hingga 3,5 persen. Sebagai bukti, pada Juni 2025, inflasi inti tercatat turun menjadi 2,37 persen secara tahunan (year-on-year). “Rendahnya inflasi ini membuka ruang bagi penurunan suku bunga, yang sudah kami lakukan sebanyak empat kali tahun ini. Kami terus mencermati peluang penurunan lebih lanjut,” kata Perry, menegaskan kembali komitmen BI.
Secara lebih spesifik, penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) yang diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) hari ini merupakan langkah konsisten dengan perkiraan inflasi tahun 2025 dan 2026 yang diyakini tetap rendah, yakni dalam kisaran sasaran 2,5±1 persen. Keputusan ini juga diambil dengan mempertimbangkan terjaganya stabilitas nilai tukar rupiah dan kebutuhan mendesak untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar sesuai dengan kapasitas perekonomian nasional.
Selain kebijakan suku bunga, Bank Indonesia juga memperkuat kebijakan makroprudensial longgar. Langkah ini bertujuan untuk mendorong penyaluran kredit/pembiayaan, menurunkan suku bunga perbankan, serta meningkatkan likuiditas di sektor perbankan, yang semuanya esensial dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Lebih jauh lagi, kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi melalui perluasan akseptasi pembayaran digital, penguatan struktur industri sistem pembayaran, serta peningkatan daya tahan infrastruktur sistem pembayaran, demi fondasi ekonomi yang lebih kokoh.
Ringkasan
Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan atau BI-Rate sebanyak empat kali sepanjang tahun 2025, masing-masing sebesar 25 basis poin, sehingga mencapai level 5 persen. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa BI akan terus mempertimbangkan ruang untuk pemangkasan lanjutan guna mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan memperhatikan kapasitas perekonomian Indonesia yang dinilai masih cukup besar.
Potensi pemangkasan suku bunga lanjutan akan bergantung pada inflasi yang rendah dan stabilitas nilai tukar rupiah. Namun, BI juga menyoroti ketidakpastian global, terutama dampak kebijakan tarif resiprokal AS. Selain kebijakan suku bunga, BI juga memperkuat kebijakan makroprudensial longgar dan sistem pembayaran untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.