Pengusaha Vs Kemenkeu: Dua Sisi Wacana Penerapan Single Profile Wajib Pajak

JAKARTA — Wacana ambisius pemerintah untuk mengintegrasikan data wajib pajak, bea cukai, dan wajib bayar PNBP dalam format single profile tengah menjadi sorotan tajam, memicu pro dan kontra di berbagai kalangan.

Di satu sisi, pemerintah meyakini bahwa inisiatif integrasi data ini akan menjadi kunci peningkatan kepatuhan dan optimalisasi penerimaan negara. Namun, di sisi lain, kalangan pelaku usaha menyuarakan harapan agar implementasi single profile tidak justru memunculkan beban baru yang memberatkan operasional mereka.

Menjelaskan lebih lanjut, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Deni Surjantoro, menguraikan bahwa konsep single profile dirancang untuk menyatukan beragam data pengguna layanan di bawah Kemenkeu.

Sebagai informasi latar belakang, saat ini data wajib pajak (WP), pengguna jasa kepabeanan dan cukai, serta wajib bayar PNBP masih terkoordinasi secara terpisah oleh direktorat jenderal yang berbeda-beda di lingkungan Kemenkeu.

Maka dari itu, single profile hadir sebagai inisiatif strategis untuk mengkalibrasi profil pelaku usaha. Ini akan memanfaatkan profil pengguna layanan digital yang telah tersedia pada setiap layanan elektronik di berbagai unit Kemenkeu, menyatukannya dalam satu gambaran utuh.

Deni Surjantoro menegaskan kepada Bisnis, Kamis (13/11/2025), bahwa rencana implementasi single profile untuk beragam layanan akan dieksekusi secara bertahap. Ini juga mencakup perluasan penerapannya di berbagai sistem dan layanan Kemenkeu lainnya.

Pihak Kemenkeu sangat berharap program ini dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, terutama melalui peningkatan kualitas layanan serta penegakan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.

“Termasuk menunjang intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan negara ke depan,” imbuh Deni, menggarisbawahi potensi dampak positif pada fiskal negara.

Kendati demikian, Deni mengklarifikasi bahwa secara spesifik, rencana awal pembangunan single profile ini belum diarahkan untuk mengintegrasikan data dengan kementerian/lembaga (K/L) lain di luar Kemenkeu. Meskipun demikian, PMK No.70/2025 sendiri telah mengamanatkan integrasi basis data penerimaan negara melalui single profile dapat dilakukan antarunit Kemenkeu maupun antarkementerian.

Deni menambahkan, sebelum proyek single profile ini digulirkan, beberapa unit Kemenkeu sudah memiliki integrasi data dengan K/L lain. Sebagai contoh, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) telah mengintegrasikan datanya dengan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang dikeluarkan oleh Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Integrasi basis data antara Bea Cukai dan BKPM ini sangat relevan untuk layanan elektronik di sektor ekspor-impor dan logistik, yang kini berada di bawah koordinasi Lembaga National Single Window (LNSW), salah satu unit Kemenkeu. Dengan sistem ini, data eksportir, importir, dan pelaku logistik lainnya sudah berbasis pada informasi pemangku kepentingan tunggal (single stakeholder information).

Senada dengan itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto, juga memaparkan bahwa data Bea Cukai sudah terintegrasi dengan berbagai K/L, khususnya yang berkaitan dengan ekspor dan impor. Koordinasi kunci dalam integrasi ini dijalankan oleh Lembaga National Single Window (LNSW).

“Melalui SINSW, sistem Bea Cukai terhubung secara langsung dengan berbagai K/L teknis yang menerbitkan izin ekspor maupun impor,” jelas Nirwala kepada Bisnis melalui keterangan tertulis. Ia menambahkan, “Artinya, setiap kali pelaku usaha mengajukan dokumen kepabeanan, sistem secara otomatis akan memeriksa apakah perizinan dari instansi terkait telah terpenuhi, dan apakah dokumen yang diajukan sudah sesuai dengan ketentuan.” Ini menunjukkan efisiensi dalam proses kepabeanan yang sudah berjalan.

Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun telah mengintegrasikan datanya dengan berbagai instansi. Salah satunya adalah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), menunjukkan bahwa proses integrasi data sebenarnya sudah berlangsung lama di berbagai lini.

Contoh konkretnya adalah pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang dikoordinasikan oleh Ditjen Pendudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, untuk difungsikan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ini merupakan langkah besar dalam menyederhanakan identitas fiskal warga.

Rosmauli, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, juga menambahkan bahwa data wajib pajak telah diintegrasikan dengan data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum, khususnya terkait informasi badan usaha.

Lebih lanjut, Rosmauli menjelaskan bahwa di internal Kemenkeu, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai pun sudah secara aktif saling bertukar data. Pertukaran ini mencakup informasi penting terkait ekspor-impor serta profil wajib pajak pelaku usaha, menunjukkan sinergi antarunit yang telah terbentuk.

Ia mengklaim bahwa integrasi basis data sejatinya telah berjalan dan terus disempurnakan serta diperluas cakupannya. Namun, otoritas pajak saat ini tengah bersiap untuk menyediakan data-data spesifik sesuai dengan profil yang ingin dibangun oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.

“Untuk keperluan pembuatan single profile, data yang diperlukan dari DJP tentunya sesuai dengan profil apa yang akan dibangun,” tegas Rosmauli kepada Bisnis. Ia menambahkan, “DJP berkomitmen untuk mendukung pembangunan single profile wajib pajak.”

Mengacu pada Renstra Kemenkeu 2025-2029, proyek single profile ini nantinya akan dikoordinasikan oleh Sekretariat Jenderal Kemenkeu. Selain itu, sebuah unit baru di kementerian, Badan Teknologi, Informasi dan Intelijen Keuangan (BATII), juga akan memainkan peran sentral dalam inisiatif ini.

Dari sisi dunia usaha, langkah pemerintah membangun single profile ini disambut sebagai kebijakan strategis yang sejalan dengan kebutuhan tata kelola penerimaan negara yang lebih berbasis data, transparan, dan efisien. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani.

Ia memandang rencana yang digagas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ini sebagai praktik terbaik (best practice) menuju pengelolaan fiskal yang lebih akurat, berkeadilan, dan kredibel.

“Namun demikian, yang perlu kita pastikan bersama nantinya adalah bagaimana proses implementasi kebijakan ini berjalan secara terukur dan inklusif,” tegas Shinta kepada Bisnis, Kamis (13/11/2025). Ia menambahkan, hal ini penting “agar tidak menimbulkan friction cost baru bagi pelaku usaha, baik dari sisi administratif, teknis, maupun kepastian hukum.”

Oleh karena itu, dunia usaha menuntut adanya peta jalan (roadmap) kebijakan single profile yang jelas, periode transisi yang memadai, proses sosialisasi dan konsultasi yang efektif, serta jaminan perlindungan data yang kuat demi kenyamanan dan keamanan pelaku usaha.

CEO Sintesa Group ini juga berpandangan bahwa profil tunggal data penerimaan negara yang ideal bukan sekadar instrumen pengawasan semata. Ia berharap single profile Kemenkeu dapat terintegrasi secara menyeluruh, ramah pengguna, serta mampu mengurangi biaya kepatuhan bagi pelaku usaha.

Lebih jauh, profil data tunggal untuk wajib pajak, wajib bayar, dan pengguna jasa kepabeanan dan cukai diharapkan dapat mempercepat proses perizinan, baik dalam urusan kepabeanan maupun restitusi pajak. Ini akan menjadi angin segar bagi efisiensi bisnis.

“Dengan kata lain, if designed well, this reform can be a catalyst for ease of doing business, not a barrier [apabila dirancang dengan baik, reformasi ini akan bisa menjadi katalis untuk kemudahan berusaha, bukan hambatan],” terang Shinta, memberikan penekanan pada potensi positif reformasi ini.

Menurut perempuan yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu, kebijakan single profile ini harus dilihat sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisi pemerintah berupaya memperkuat basis penerimaan negara, di sisi lain pelaku usaha juga membutuhkan kepastian dan kejelasan regulasi untuk dapat beroperasi secara efisien.

Shinta juga menyoroti bahwa upaya menggenjot penerimaan negara seharusnya lebih berorientasi pada perluasan basis ekonomi. Integrasi data fiskal, baginya, semestinya menjadi instrumen kebijakan untuk memperluas basis penerimaan, bukan hanya memperdalam pengawasan terhadap sektor yang sudah patuh.

“Dengan data yang lebih terkalibrasi dan terhubung lintas direktorat, Pemerintah dapat memetakan potensi penerimaan secara lebih objektif, mendorong kepatuhan sukarela, dan memperluas basis pajak tanpa menambah beban pelaporan bagi pelaku usaha,” pungkasnya, menunjukkan harapan akan sebuah sistem yang lebih adil dan efisien bagi semua pihak.