RUU P2SK: DPR Evaluasi BI, OJK, LPS! Apa Dampaknya?

Ifonti.com , JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengambil langkah signifikan dalam pengawasan sektor keuangan dengan menyisipkan aturan baru pada draf Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No.4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK). Aturan ini secara eksplisit memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengevaluasi kinerja kelembagaan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Penyisipan krusial ini termaktub dalam Pasal 9A, sebuah pasal baru yang diletakkan di antara Pasal 9 dan 10 UU P2SK saat ini, berdasarkan draf RUU P2SK yang telah melalui proses harmonisasi. Ayat (1) dari Pasal 9A menegaskan bahwa DPR dapat melakukan evaluasi kinerja terhadap LPS, OJK, dan BI berdasarkan laporan kinerja kelembagaan masing-masing. Ini merupakan penambahan substansial terhadap kerangka pengawasan keuangan di Indonesia.

Proses evaluasi kinerja kelembagaan ini, sebagaimana dijelaskan dalam Ayat (2) pasal yang sama, akan dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPR (AKD) yang membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional, moneter, serta sektor jasa keuangan. Saat ini, fungsi tersebut diemban oleh Komisi XI DPR. Hasil evaluasi tersebut kemudian akan disampaikan kepada pimpinan DPR dalam bentuk rekomendasi. Menariknya, Ayat (3) Pasal 9A menegaskan bahwa “Hasil evaluasi kinerja dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti dan bersifat mengikat,” sebuah klausul yang dikutip pada Kamis (2/10/2025), yang memperkuat posisi pengawasan parlemen.

Meski demikian, terdapat perubahan penting dibandingkan draf RUU P2SK versi 8 September sebelumnya. Draf awal tersebut sempat memuat ketentuan bahwa hasil evaluasi DPR bisa menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi Presiden untuk memberhentikan Dewan Komisioner LPS dan OJK, maupun Dewan Gubernur BI. Namun, dalam draf harmonisasi terbaru, klausul terkait pemberhentian yang didasarkan pada evaluasi DPR tersebut telah dihapus.

Sebagai gantinya, dalam draf hasil harmonisasi RUU P2SK, Presiden kini memiliki kewenangan untuk memberhentikan Dewan Komisioner OJK dan LPS, serta Dewan Gubernur BI, apabila mereka “melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.” Perubahan ini menandai pergeseran fokus dari hasil evaluasi DPR sebagai pemicu langsung pemberhentian, menjadi pelanggaran hukum sebagai dasar utama. Hal ini berbeda signifikan dengan draf yang beredar di kalangan wartawan pada awal September.

Perubahan ini tampak jelas dalam sejumlah pasal. Contohnya, pada Pasal 69 draf terbaru tentang LPS, dari delapan syarat Presiden dapat memberhentikan Dewan Komisioner LPS, butir huruf (h) yang awalnya berbunyi “hasil evaluasi DPR dalam rangka tindak lanjut pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap komisioner” kini telah diganti menjadi “melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan,” berdasarkan draf RUU P2SK hasil harmonisasi per 1 Oktober 2025.

Pola serupa juga diterapkan pada ketentuan pemberhentian Dewan Komisioner OJK dan Dewan Gubernur BI. Pada Pasal 17 ayat (1) draf harmonisasi terbaru, mengenai anggota Dewan Komisioner OJK, dari sebelas alasan pemberhentian sebelum masa jabatan berakhir, huruf (k) yang semula menyebut “hasil evaluasi DPR dalam rangka tindak lanjut pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap komisioner” telah diubah menjadi “serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.” Demikian pula, untuk Dewan Gubernur BI, Pasal 48 ayat (1) yang mengatur enam alasan pemberhentian, huruf (f) yang sebelumnya merujuk pada hasil evaluasi DPR, kini diganti menjadi “melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Ketua Komisi XI DPR Misbakhun pernah menjelaskan bahwa revisi UU P2SK ini sejalan dengan hasil putusan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK) yang ditindaklanjuti oleh DPR. Salah satu substansi penting dalam beleid ini adalah perubahan pelaporan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) LPS yang tidak lagi disampaikan kepada Menteri Keuangan (Menkeu), melainkan kini langsung kepada DPR. Hal ini konsisten dengan Putusan MK No.85/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa frasa “Menteri Keuangan memberikan persetujuan” dan “yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan” pada sejumlah ayat di Pasal 86 UU No.4/2023 tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai sebagai “persetujuan DPR.”

Mengenai detail draf yang beredar, Misbakhun sebelumnya enggan memberikan konfirmasi spesifik terkait draf 8 September 2025 kepada wartawan. Beliau menegaskan akan menginformasikan isi draf beleid setelah diputuskan secara resmi dalam rapat. “Saya belum bisa memberikan konfirmasi apapun kalau belum diputuskan oleh rapat. Apalagi dijadikan bahan spekulasi di media,” ujarnya kepada Bisnis, pada Kamis (25/9/2025).

Ringkasan

DPR menyisipkan aturan baru dalam RUU P2SK yang memberikan kewenangan untuk mengevaluasi kinerja Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Evaluasi ini akan dilakukan oleh alat kelengkapan DPR (AKD) yang membidangi keuangan, dan hasilnya akan disampaikan kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti.

Klausul mengenai hasil evaluasi DPR sebagai bahan pertimbangan pemberhentian Dewan Komisioner LPS dan OJK, serta Dewan Gubernur BI telah dihapus. Sebagai gantinya, Presiden kini memiliki kewenangan memberhentikan mereka jika melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan putusan MK terkait pelaporan RKAT LPS yang kini disampaikan langsung ke DPR, bukan lagi melalui Menteri Keuangan.