Di tengah hiruk-pikuk berita ekonomi, terlintas sebuah analogi kuat: bendungan kokoh yang menahan laju air di hulu sungai. Selama bertahun-tahun, bendungan itu dengan setia menampung air, memastikan tidak ada yang meluber, menjaga keseimbangan vital.
Namun, seiring waktu, warga desa di hilir mulai merasakan kegelisahan. Sawah-sawah mereka mengering, mengancam mata pencarian. Merespons kondisi kritis ini, sang penjaga bendungan akhirnya memutuskan untuk membuka pintu air secara bertahap. Aliran air yang kembali mengalir membawa kesegaran, menyulut harapan baru bagi para petani yang merindukan panen melimpah.
Inilah gambaran yang relevan ketika Bank Indonesia (BI), bertindak sebagai penjaga bendungan ekonomi nasional, mengumumkan penurunan suku bunga acuan (BI-Rate) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan September 2025.
Langkah ini bukanlah yang pertama. Dalam setahun terakhir, BI telah konsisten berperan sebagai “penjaga pintu air” bagi perekonomian Indonesia, menurunkan BI-Rate sebanyak enam kali. Secara kumulatif, penurunan suku bunga acuan BI telah mencapai 125 bps sejak September 2024, membawa BI-Rate ke level 4,75%, posisi terendah yang tercatat sejak tahun 2022.
Suku bunga BI berfungsi sebagai kompas utama bagi sektor perbankan. Ketika BI menurunkan bunga, secara otomatis biaya dana (cost of fund) bagi bank ikut menyusut. Hal ini membuat bank kurang tertarik untuk menahan dananya di Bank Indonesia, sehingga mendorong mereka untuk lebih aktif menyalurkan likuiditas atau “menyuntikkan” dana ke masyarakat melalui penurunan bunga kredit.
Kebijakan ini tentu menjadi angin segar bagi masyarakat dan pelaku usaha. Namun, BI tidak hanya membuka satu “keran” saja. Ada serangkaian kebijakan lain yang juga diterapkan untuk lebih jauh mendorong likuiditas perbankan.
“Keran” kedua yang dibuka adalah melalui ekspansi likuiditas via pemangkasan Sekuritas Rupiah BI (SRBI). Posisi instrumen moneter SRBI tercatat menurun signifikan, dari Rp916,97 triliun pada awal tahun 2025 menjadi Rp716,62 triliun per 15 September 2025. Penurunan jumlah SRBI ini mengindikasikan adanya lebih banyak uang yang beredar di sistem keuangan. Konsekuensinya, perbankan memiliki kelonggaran dan kapasitas yang lebih besar untuk menyalurkan pembiayaan.
Tak berhenti di situ, hingga pekan pertama September 2025, BI juga telah mengimplementasikan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) senilai total Rp384 triliun yang disalurkan ke perbankan. Insentif KLM ini secara spesifik dialokasikan untuk mendukung sektor-sektor prioritas yang menjadi tulang punggung perekonomian, meliputi pertanian, real estate, perumahan rakyat, konstruksi, perdagangan dan manufaktur, transportasi, pergudangan, pariwisata dan ekonomi kreatif, serta sektor UMKM, ultra-mikro, dan hijau.
Dorongan komprehensif ini diharapkan dapat memicu perbankan untuk lebih berani menyalurkan kredit ke sektor riil yang membutuhkan. Meskipun demikian, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa semua kebijakan diambil dengan berlandaskan prinsip kehati-hatian, dilakukan secara prudent dan terukur.
Ini berarti BI tidak gegabah dalam membuka “keran” likuiditas tanpa kendali. Sebaliknya, Bank Indonesia memastikan dorongan untuk pertumbuhan ekonomi tetap sejalan dengan upaya menjaga inflasi, stabilitas rupiah, dan stabilitas keuangan secara keseluruhan. Inilah esensi dari seni kebijakan moneter, sebuah keseimbangan cermat antara upaya memacu pertumbuhan dan kewajiban utama menjaga stabilitas.
Langkah-langkah BI ini juga merupakan bagian dari harmonisasi kebijakan dengan Kementerian Keuangan, yang sebelumnya telah mengalirkan likuiditas sebesar Rp200 triliun ke sektor perbankan. Kolaborasi antara kebijakan fiskal pemerintah dan kebijakan moneter BI ini dapat diibaratkan sebagai kombinasi sempurna antara air dan pupuk. Suntikan dana dari pemerintah menyediakan cadangan likuiditas yang melimpah bagi perbankan, sementara penurunan suku bunga acuan dan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) memberikan insentif kuat bagi bank untuk menyalurkan dana tersebut ke masyarakat. Dengan demikian, diharapkan uang tidak hanya terhenti di perbankan, namun memiliki peluang besar untuk mengalir dan menggerakkan sektor riil, mulai dari rumah tangga hingga berbagai pelaku usaha.
Di tengah upaya ini, kondisi ekonomi sempat menjadi sorotan publik, terutama di media sosial. Istilah “rojali” (rombongan jarang beli) dan “rohana” (rombongan hanya nanya) menjadi viral, secara tidak langsung merefleksikan penurunan daya beli masyarakat. Ungkapan sinis “…. in this economy” juga sering muncul, menggambarkan persepsi bahwa ekonomi Indonesia sedang menghadapi tantangan.
Fenomena ini bukan tanpa alasan, mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal I-2025 melambat signifikan, hanya mencapai 4,87% (YoY). Angka ini merupakan yang terendah dalam tiga tahun terakhir. Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini terutama dipicu oleh melemahnya konsumsi rumah tangga. Bahkan pada Kuartal I-2025, di tengah momentum perayaan Idulfitri, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89% (YoY). Di tengah “kekeringan” pertumbuhan ekonomi, kabar gembira mengenai penurunan BI-Rate dari BI ini tentu menjadi “suntikan tenaga baru” yang krusial untuk kembali memacu roda pertumbuhan ekonomi.
Ada tiga dampak positif utama yang diharapkan dari penurunan suku bunga BI ini. Pertama, dengan bunga kredit yang lebih rendah, cicilan untuk pembelian rumah atau kendaraan akan terasa lebih ringan. Sebagai contoh, sebuah keluarga muda di Jakarta yang selama ini menunda rencana membeli rumah pertama, kini akan lebih berani mengajukan KPR karena tingkat bunga yang lebih terjangkau.
Kedua, kebijakan ini membuka ruang lebar bagi pelaku UMKM untuk berekspansi dan menciptakan peluang bagi individu yang ingin merintis usaha baru. Banyak impian untuk memiliki bisnis atau merek sendiri selama ini tertahan karena tingginya bunga pinjaman modal usaha. Dengan turunnya bunga pinjaman, langkah untuk mengambil kredit modal usaha akan terasa lebih ringan. Para pengusaha pun menjadi lebih leluasa dalam memperluas jangkauan bisnisnya. Efek dominonya, lapangan pekerjaan akan semakin terbuka, dan pada akhirnya, turut menggerakkan roda perekonomian nasional.
Ketiga, penurunan suku bunga memberikan “ruang napas” bagi masyarakat yang sudah memiliki pinjaman berjalan. Meskipun penurunan cicilan bulanan mungkin tidak terlalu besar, dampaknya dapat menambah ruang untuk konsumsi rumah tangga. Seorang pekerja kantoran yang sebelumnya terbebani cicilan, kini dapat mengalokasikan sebagian dananya untuk pendidikan anak, liburan keluarga kecil, atau sekadar menabung. Efek domino dari peningkatan daya beli dan konsumsi ini diharapkan akan kembali menghidupkan berbagai aktivitas ekonomi di masyarakat.
Oleh karena itu, langkah penurunan suku bunga kredit ini memiliki dampak yang sangat kuat bagi ekonomi nasional. Likuiditas yang melimpah bukan sekadar deretan angka di neraca perbankan, melainkan sebuah peluang nyata bagi seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama “menyalakan mesin ekonomi” dari bawah, memacu pertumbuhan yang lebih inklusif.
Meskipun demikian, masyarakat juga harus tetap bijak. Mengambil kredit berarti memiliki komitmen pembayaran cicilan setiap bulan. Oleh karena itu, penting untuk selalu melakukan perhitungan yang matang dan cermat sebelum memutuskan untuk mengambil pinjaman, memastikan sesuai dengan kemampuan finansial.