
Ifonti.com , JAKARTA — Bank Indonesia (BI) meyakini pertumbuhan kredit perbankan mampu menembus 8% pada penutupan tahun buku 2025, meski terjadi perlambatan sepanjang tahun.
Data terakhir menunjukkan pertumbuhan kredit perbankan berada di level 7,74% secara tahunan (year-on-year/YoY) per November 2025, jauh di bawah capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 10,79% YoY. Adapun, BI menetapkan target pertumbuhan kredit 2025 dalam rentang 8% hingga 11%.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Solikin M. Juhro mengakui laju pertumbuhan kredit perbankan tahun ini menghadapi tekanan yang lebih berat dibandingkan dengan tahun lalu. Kendati demikian, dia menilai capaian saat ini masih berada dalam koridor yang sehat, ditopang oleh fundamental perbankan dan korporasi yang solid.
“Per November ini tumbuh 7,74%. Mudah-mudahan, Insyaallah di Desember nanti akhir tahun bisa di atas 8% sebagaimana target Bank Indonesia,” ujarnya dalam Taklimat Media BI, Senin (22/12/2025).
Optimisme Bank Sentral, sambung Solikin, didorong oleh kinerja Kredit Investasi (KI) yang tumbuh impresif sebesar 17,98% YoY per November 2025. Lonjakan di segmen investasi ini menjadi indikator utama bahwa persepsi pelaku usaha terhadap prospek ekonomi jangka menengah dan panjang masih sangat positif.
: Pertumbuhan Kredit Masih di bawah Target BI, Bankir Beri Penjelasan
“Tingginya kredit investasi ini memberikan harapan bahwa persepsi ekonomi ke depan itu tinggi atau menggeliat, sejalan dengan program strategis dan prioritas pemerintah yang terus didorong,” jelasnya.
Kondisi tersebut kontras dengan Kredit Modal Kerja (KMK) yang tercatat tumbuh landai di level 2,39% YoY. Solikin menganalisis rendahnya pertumbuhan KMK merefleksikan kondisi operasional jangka pendek di sejumlah sektor ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, sehingga kebutuhan likuiditas harian korporasi cenderung tertahan.
Di luar aspek pertumbuhan, otoritas moneter memastikan ketahanan perbankan (banking resilience) tetap terjaga kokoh. Hal ini tecermin dalam tiga parameter utama, yaitu permodalan (Capital Adequacy Ratio), likuiditas (Alat Likuid terhadap Non-Core Deposit), dan risiko kredit (Non-Performing Loan/NPL) yang masih berada dalam zona aman.
Dari sisi debitur, korporasi juga dinilai memiliki kapasitas pembayaran (repayment capacity) yang baik.
Perkuat Koordinasi dan Insentif KLM
Ke depan, BI ingin kredit perbankan tumbuh lebih tinggi. Untuk mewujudkan itu, Bank Sentral akan memperkuat koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Solikin mencontohkan bahwa untuk mengatasi tingginya undisbursed loan sebesar Rp2.509,4 triliun per November 2025, BI akan berkoordinasi dengan pemerintah. Langkah ini berangkat dari pertimbangan bahwa debitur yang belum menarik komitmen kredit kemungkinan berasal dari korporasi plat merah alias BUMN.
: Kredit UMKM Kian Terpuruk per November 2025, Terseret Segmen Mikro dan Menengah
“Terkait dengan undisbursed loan, itu kan kalau kami bilang ke pemerintah, ya mungkin ada korporasi itu kan milik pemerintah. Nah misalkan seperti itu kami sampaikan, kami koordinasikan,” ungkapnya.
Selain itu, BI mengidentifikasi perlambatan pertumbuhan kredit karena masih tingginya suku bunga kredit perbankan di tengah penurunan suku bunga acuan (BI Rate) besar-besaran. Akibatnya, permintaan tidak terakselerasi karena biaya pinjaman masih tinggi.
Data BI memang menunjukkan transmisi kebijakan moneter belum berjalan mulus. Meskipun Bank Sentral telah memangkas suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 125 basis poin (bps) sepanjang tahun ini, penurunan suku bunga kredit perbankan tercatat baru mencapai 24 bps.
Solikin menjelaskan lambatnya transmisi itu akibat masih maraknya praktik pemberian suku bunga khusus (special rate) dari bank kepada deposan kakap.
Dia mencontohkan, meskipun suku bunga dana pihak ketiga (DPK) secara umum berada di kisaran 2,3% hingga 2,5%, banyak pemilik dana besar menuntut imbal hasil di level 5% hingga 6%, jauh di atas suku bunga penjaminan.
Solikin menambahkan BI akan terus berkomunikasi dengan pemerintah terkait fenomena pemberian special rate yang telah mendistorsi pasar tersebut. Apalagi, sambungnya, bank-bank BUMN juga banyak memberikan tingkat bunga khusus.
“Kalau bank-bank [milik pemerintah] itu menurunkan, yang mana sebagian sudah, pasti yang lain ikut. Jadi konteks koordinasinya seperti itu, tanpa memberikan distorsi yang unnecessary [tidak perlu],” jelasnya.
Selain sisi penawaran dana, BI bersama OJK juga terus mengawal transparansi harga melalui publikasi suku bunga dasar kredit (SBDK) secara berkala. Solikin menekankan bahwa transparansi ini bertujuan agar publik dapat membedah komponen pembentuk bunga kredit, mulai dari biaya dana (cost of fund) hingga margin keuntungan bank.
“Kami sampaikan lampiran SBDK tiap bulan agar masyarakat tahu berapa margin keuntungan yang dipatok bank. Kecuali premi risiko yang memang sulit diukur, komponen lainnya seperti biaya dana itu semua ada datanya,” jelas Solikin.
: Tabungan Warga RI Menebal per November 2025, Tembus Rp3 Kuadriliun
Sebagai langkah konkret berikutnya, Otoritas Moneter berencana memfasilitasi pertemuan langsung antara perbankan dan pelaku usaha melalui skema business matching. Inisiatif ini dirancang untuk menjembatani asimetri informasi yang kerap menjadi penghambat penyaluran kredit.
“Ke depan, kami nanti ajak para korporasi dan perbankan untuk business matching, kita temukan mereka. Kurang apa? Mau informasi apa? Langkah-langkah ini kami upayakan agar pembiayaan lancar dan ekonomi tumbuh lebih kuat,” katanya.
Selain berkoordinasi dengan pemerintah dan OJK, BI turut memperkuat Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) melalui dua jalur utama, yakni jalur kuantitas (lending channel) dan jalur harga (interest rate channel).
Adapun per 16 Desember lalu, BI mempertahankan besaran total insentif KLM paling tinggi sebesar 5,5% dari DPK. Kendati demikian, komposisi di dalamnya diubah secara signifikan.
Bank sentral memangkas porsi insentif dari sisi penyaluran kredit (lending channel) dari semula maksimal 5% menjadi 4,5%. Sebaliknya, BI melipatgandakan insentif bagi bank yang responsif terhadap suku bunga (interest rate channel) dari semula paling tinggi sebesar 0,5% menjadi paling tinggi sebesar 1%.
Dengan demikian, jika perbankan ingin mendapatkan guyuran likuiditas maksimal dari otoritas, maka mereka harus segera menurunkan suku bunga kreditnya sejalan dengan kebijakan pemangkasan suku bunga BI.
“Ini yang kenapa kami sebutkan sebagai ketidaksempurnaan, ketidaksatunafasan, ini harus di-address dari berbagai channel atau berbagai instrumen, termasuk kami harus koordinasi dengan berbagai instansi, dengan OJK, dengan LPS, dan pemerintah untuk bisa tackle with [atasi] isu ini,” ujar Solikin.