
Ifonti.com JAKARTA — Pasar saham Amerika Serikat bersiap menghadapi minggu krusial yang dipenuhi rilis laporan keuangan, di tengah sentimen kehati-hatian investor. Fokus utama pelaku pasar tertuju pada kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed) serta sejauh mana reli saham berbasis kecerdasan buatan (AI) yang telah menggerakkan pasar sepanjang tahun ini dapat bertahan.
Berdasarkan laporan Reuters pada Senin (3/11/2025), indeks S&P 500 berhasil menutup bulan Oktober dengan kenaikan sebesar 2,3%. Capaian ini menandai penguatan enam bulan berturut-turut, meskipun sempat diwarnai gejolak volatilitas menyusul laporan kinerja beragam dari beberapa raksasa teknologi.
Tekanan pasar semakin terasa setelah The Fed memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada Rabu (29/10/2025), langkah yang telah sesuai dengan ekspektasi pasar. Namun, bank sentral tersebut belum memberikan sinyal kuat mengenai pelonggaran kebijakan lanjutan dalam waktu dekat. Ketua The Fed Jerome Powell secara tegas menyatakan bahwa “penurunan suku bunga pada pertemuan Desember mendatang bukan sesuatu yang pasti,” pernyataan ini berlawanan dengan pandangan pasar sebelumnya yang memperkirakan pemangkasan lanjutan hampir pasti terjadi.
: Akhiri Era Impor Obat Plasma, Danantara–SK Siapkan Pabrik di Karawang
Laba Emiten Menguat, Valuasi Dianggap Mulai Mahal
Secara umum, kinerja korporasi pada kuartal III/2025 menunjukkan performa yang solid. Data LSEG IBES mengindikasikan bahwa laba perusahaan-perusahaan di indeks S&P 500 telah tumbuh sekitar 13,8% secara tahunan. Lebih dari 130 perusahaan yang tergabung dalam indeks tersebut dijadwalkan akan merilis kinerja keuangannya pada pekan ini.
: : Menakar ST015, Sukuk Tabungan Terbitan Terakhir Menkeu Purbaya Periode 2025
Meskipun demikian, sebagian investor mulai menunjukkan kewaspadaan karena valuasi pasar telah meningkat pesat. Rasio price to earnings (PER) S&P 500 kini melampaui 23 kali, angka yang mendekati level tertinggi sejak era gelembung dot-com. Angelo Kourkafas, Senior Global Investment Strategist di Edward Jones, menyampaikan, “Jika valuasi sudah mendekati batas atas, dan investor enggan membayar harga setinggi era gelembung teknologi, maka pertumbuhan laba harus menjadi pendorong utama penguatan pasar ke depan.”
: : IPO Pelayaran Jaya Hidup Baru (PJHB) Pekan Depan, Harga Pelaksanaan Rp330
Secara historis, bulan November dan Desember kerap menjadi periode positif bagi pasar saham AS. Stock Trader’s Almanac mencatat rata-rata kenaikan S&P 500 masing-masing sebesar 1,87% dan 1,43%. Namun, setelah reli signifikan tahun ini dengan S&P 500 naik 16% dan Nasdaq menguat 23% sejak awal tahun, sebagian pelaku pasar berpendapat bahwa kenaikan musiman tersebut mungkin sudah terjadi lebih cepat dari biasanya.
Hingga saat ini, sekitar 44% perusahaan S&P 500 telah melaporkan kinerja kuartal III, di mana 83% di antaranya berhasil melampaui ekspektasi laba. Angka ini berpotensi menjadi tingkat kejutan laba tertinggi keenam dalam sejarah, menurut Ned Davis Research.
Walaupun demikian, beberapa saham teknologi sempat melemah setelah perusahaan mengumumkan peningkatan belanja untuk pengembangan AI. Saham Meta dan Microsoft mengalami koreksi, sementara Alphabet tetap menguat karena peningkatan belanja modalnya dinilai masih dapat ditopang oleh arus kas internal yang kuat. Di sisi lain, saham Amazon melonjak setelah unit komputasi awannya mencatat pertumbuhan yang mengesankan.
Antusiasme pasar terhadap AI telah mendorong S&P 500 naik hampir 90 persen sejak awal siklus bullish tiga tahun lalu. Namun, kini investor menuntut bukti konkret terkait monetisasi teknologi tersebut. Eric Kuby, Chief Investment Officer di North Star Investment Management, menjelaskan, “Investor ingin tahu bukan hanya prospek pertumbuhan, tetapi juga berapa besar biaya yang dikeluarkan dan seberapa besar imbal hasil yang bisa diperoleh.”
Pekan ini, sejumlah emiten teknologi besar seperti Advanced Micro Devices (AMD), Qualcomm, dan Palantir Technologies akan menyampaikan hasil keuangan mereka. Saham Palantir dan AMD telah melonjak lebih dari dua kali lipat tahun ini, sementara Qualcomm naik sekitar 18 persen. Perusahaan-perusahaan lain seperti McDonald’s dan Uber juga dijadwalkan untuk merilis kinerja.
Pelaku pasar juga turut mencermati perkembangan ekonomi AS di tengah penutupan pemerintahan yang menyebabkan tertundanya sebagian besar rilis data ekonomi resmi. Kekhawatiran semakin bertambah dengan pengumuman Amazon baru-baru ini mengenai pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 14.000 pegawai korporat.
Robert Pavlik, Senior Portfolio Manager di Dakota Wealth Management, mengungkapkan, “Kekurangan data resmi dari pemerintah AS, ditambah sinyal bahwa banyak perusahaan mulai memangkas tenaga kerja, membuat pasar menjadi lebih tegang.”
Penutupan pemerintahan AS sejak 1 Oktober menjadi yang terpanjang kedua setelah shutdown pada periode 2018–2019. Laporan ketenagakerjaan bulanan yang seharusnya dirilis pada 7 November kemungkinan besar akan tertunda. Akibatnya, investor kini harus mengandalkan data alternatif seperti laporan ketenagakerjaan ADP dan survei Universitas Michigan.
Situasi ini menjadi semakin relevan setelah pernyataan Powell yang mengaburkan peluang pemangkasan suku bunga lanjutan. Kourkafas menambahkan, “Kita sedang berada dalam kekosongan data, sehingga sumber alternatif menjadi semakin penting bagi The Fed untuk menyesuaikan arah kebijakan suku bunganya.”