The Fed Siap Pangkas Suku Bunga Meski Masih Dibayangi Inflasi AS

Ifonti.com , JAKARTA – The Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan kembali memangkas suku bunga acuan pada pertemuan kebijakannya pekan ini guna menopang pasar tenaga kerja yang melemah. Meski demikian, kekhawatiran inflasi masih membayangi langkah pelonggaran lebih lanjut.

Melansir Bloomberg pada Senin (27/10/2025) kubu dovish di The Fed saat ini masih memegang kendali arah kebijakan dan berhasil mendorong penurunan suku bunga. Namun, sebagian pejabat lainnya memperingatkan bahwa pelonggaran yang berlebihan bisa menimbulkan risiko baru.

Data inflasi terbaru menunjukkan inflasi AS naik pada September dengan laju paling lambat dalam tiga bulan terakhir. Meskipun hasil ini memperkuat keyakinan bahwa The Fed akan kembali memangkas suku bunga, perlambatan tersebut tidak cukup kuat untuk mendukung lebih banyak penurunan lanjutan.

“Situasi ini menjaga bias pelonggaran di bulan Oktober. Namun, gambaran dasarnya terkait inflasi belum banyak berubah,” ujar Nicole Cervi, ekonom di Wells Fargo & Co. 

Fokus Pasar

Setelah menahan diri sepanjang tahun untuk menilai dampak tarif dan kebijakan fiskal terhadap perekonomian, The Fed akhirnya menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada September lalu. Bank sentral juga memperkirakan dua kali pemangkasan tambahan hingga akhir tahun.

: : Ramalan Terbaru Ekonom soal Pemangkasan Suku Bunga The Fed hingga Akhir Tahun

Sejak itu, data tenaga kerja menunjukkan pelemahan signifikan. Ketua The Fed Jerome Powell bahkan menyebut pasar tenaga kerja telah melemah cukup tajam dan menghadapi risiko penurunan lebih lanjut.

Kondisi tersebut membuat pelaku pasar hampir sepenuhnya memperkirakan penurunan suku bunga seperempat poin pada pekan ini, disusul satu kali lagi pada Desember, dan kemungkinan ketiga pada Maret 2026.

: : The Fed Sulit Tentukan Arah Suku Bunga Gara-Gara Shutdown Pemerintah AS

Pasar obligasi AS juga mencatat kinerja positif sepanjang tahun, terdorong ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter. Imbal hasil obligasi tenor 10 tahun sempat turun di bawah 4%, level terendah sejak April, setelah laporan inflasi dirilis Jumat lalu.

Namun, tidak semua pejabat The Fed sepakat. Sejumlah presiden The Fed regional — termasuk Alberto Musalem (St. Louis), Jeff Schmid (Kansas City), dan Beth Hammack (Cleveland) — diperkirakan akan mendorong kehati-hatian lebih besar. 

Dalam proyeksi kebijakan September, sembilan dari 19 pejabat The Fed hanya mendukung maksimal satu kali pemangkasan tambahan tahun ini, sementara tujuh lainnya menolak pemangkasan lebih lanjut.

Kekhawatiran utama mereka terletak pada risiko inflasi yang belum sepenuhnya mereda. Sejumlah pejabat menyoroti tekanan harga kini meluas ke sektor jasa, di luar kategori yang terdampak langsung oleh tarif.

Inflasi jasa inti non-perumahan telah berada di atas 3% secara tahunan selama empat bulan berturut-turut. Selain itu, inflasi AS telah melampaui target 2% selama lebih dari empat tahun, dan diperkirakan baru kembali ke level sasaran pada 2028.

Presiden The Fed Philadelphia Anna Paulson menegaskan bahwa kredibilitas kebijakan moneter bergantung pada kemampuan bank sentral menurunkan inflasi kembali ke level 2%.

“Stabilitas ekspektasi inflasi jangka panjang merupakan bukti penting dari kredibilitas kebijakan moneter. Sangat penting bagi kami untuk menuntaskan tugas ini,” ujarnya.

Ketidakpastian juga meningkat akibat keterlambatan publikasi data ekonomi resmi selama penutupan sebagian pemerintahan AS yang masih berlangsung sejak awal Oktober. 

Menurut ekonom Veronica Clark dari Citigroup Inc., kondisi tersebut membuat The Fed kemungkinan tetap berpegang pada proyeksi September — dua kali pemangkasan tahun ini dan satu kali tambahan pada 2026.

“Masih ada perbedaan pandangan di internal, tapi belum ada data baru yang cukup kuat untuk mengubah posisi mereka,” kata Clark.

Gubernur The Fed Christopher Waller yang sebelumnya menjadi salah satu pihak pertama memperingatkan perlambatan perekrutan, kini menekankan perlunya kehati-hatian.

“Ada kontradiksi antara pertumbuhan ekonomi yang kuat dan pasar tenaga kerja yang lemah. Salah satunya harus menyesuaikan — entah pertumbuhan melambat, atau pasar tenaga kerja pulih,” ujarnya.