Ifonti.com, JAKARTA – Sepanjang tahun ini, kinerja saham blue chip di pasar modal Indonesia, khususnya yang tergabung dalam indeks LQ45, menunjukkan performa yang kurang cemerlang. Lonjakan nilainya tampak jauh tertinggal dibandingkan laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Meskipun demikian, sinyal positif dari pertumbuhan ekonomi nasional diyakini mampu menjadi katalis pendorong bagi pergerakan saham-saham paling likuid ini di masa mendatang.
Data statistik dari Bursa Efek Indonesia (BEI) memperlihatkan bahwa pada penutupan perdagangan Selasa, 11 November 2025, indeks LQ45 tercatat melemah 0,26% menuju level 842,686. Penurunan ini sejalan dengan IHSG yang juga merosot 0,29% dan parkir di posisi 8.366.
Namun, perbedaan signifikan terlihat pada pergerakan secara year to date (YtD). IHSG secara akumulatif telah melesat impresif sebesar 18,17%, sementara LQ45 hanya mampu membukukan kenaikan tipis 1,94%. Bahkan, pencapaian indeks LQ45 ini masih kalah jauh jika dibandingkan dengan IDX BUMN20 yang telah tumbuh 6,44% YtD, menegaskan adanya tekanan khusus pada segmen saham unggulan ini.
Samuel Kesuma, Chief Investment Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), menyoroti bahwa saham-saham kategori blue chip pada dasarnya sangat responsif terhadap perkembangan fundamental ekonomi. Oleh karena itu, kinerjanya cenderung mencerminkan kondisi riil perekonomian.
“Sayangnya, tahun ini kinerja laba emiten blue chip memang terdampak oleh lesunya kondisi ekonomi domestik,” jelas Samuel dalam risetnya yang dirilis Rabu, 12 November 2025. Ia menambahkan, “Namun, ke depannya, kami melihat prospek yang jauh lebih cerah bagi saham blue chip Indonesia, didukung oleh ekspektasi perbaikan pertumbuhan ekonomi.”
Faktor perlambatan ekonomi ini tercermin dari data pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, yang pada kuartal III 2025 melambat menjadi 5,04% secara year-on-year (YoY), setelah sebelumnya tumbuh 5,12% YoY pada kuartal II 2025. Penurunan laju pertumbuhan ini secara langsung memengaruhi ekspektasi pasar terhadap laba perusahaan-perusahaan besar.
Meskipun performa saham blue chip belum menunjukkan lonjakan yang impresif, Samuel justru melihat adanya daya tarik tersendiri dari segi valuasi. Dengan dividen yield indeks LQ45 yang kini berada di kisaran 5,3%, angka ini tampak lebih unggul dibandingkan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 1 tahun yang sebesar 4,8%, dan cukup kompetitif dengan SBN tenor 5 tahun di angka 5,5%. Hal ini menunjukkan bahwa investasi pada saham LQ45 menawarkan imbal hasil dividen yang menarik.
“Kami memproyeksikan bahwa dengan tren penurunan suku bunga acuan dan yield obligasi, daya tarik pasar saham akan semakin menguat,” tegas Samuel. Ia menambahkan, kondisi ini berpotensi besar untuk mengangkat saham blue chip yang sepanjang tahun ini terpaksa mengalami underperform.
Menjelaskan lebih lanjut keterkaitan antara kinerja saham blue chip dengan performa ekonomi nasional, Samuel juga memaparkan beberapa katalis positif yang diperkirakan akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV 2025.
Pertama, injeksi stimulus ekonomi senilai Rp46 triliun yang dialokasikan untuk periode September hingga Desember, termasuk di dalamnya bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp30 triliun, diperkirakan akan menjadi pendorong langsung bagi peningkatan daya beli dan konsumsi masyarakat. Ini diharapkan mampu memutar roda perekonomian lebih cepat.
Kedua, percepatan belanja pemerintah, yang secara historis memang selalu terjadi di kuartal IV, juga menjadi harapan. Hingga September 2025, realisasi belanja pemerintah baru mencapai Rp2.234 triliun atau sekitar 63% dari target. Jika asumsi pencapaian target 100% terpenuhi, maka masih ada potensi belanja pemerintah yang sangat besar, yakni lebih dari Rp1.200 triliun, akan digelontorkan pada kuartal terakhir tahun ini. Angka ini jauh melampaui realisasi belanja pada kuartal-kuartal sebelumnya, memberikan dorongan fiskal yang signifikan.
Selain itu, Samuel juga menambahkan, “Penurunan BI Rate dan injeksi likuiditas dari pemerintah diharapkan dapat mempercepat transmisi penurunan suku bunga perbankan. Hal ini tentunya akan menarik minat dunia usaha untuk meningkatkan permintaan kredit, yang pada gilirannya akan memacu investasi dan aktivitas bisnis.” Ia melanjutkan, sinyal positif sudah terlihat dari pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) yang meningkat menjadi 8% di September, dari 7,6% di bulan sebelumnya, serta pertumbuhan kredit yang juga naik menjadi 7,7% dari 7,5%.
Mengikuti optimisme tersebut, pada sesi I perdagangan hari ini, Rabu (12/11/2025), indeks LQ45 menunjukkan pergerakan positif dengan menguat 0,70% menuju level 848,590. Beberapa saham konstituen LQ45 turut berpartisipasi dalam penguatan ini, termasuk PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang naik 0,89% ke Rp8.475, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) yang menguat 0,28% ke Rp3.530, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. (JPFA) yang melonjak 5,51% ke Rp2.490, serta PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) yang terapresiasi 0,35% ke Rp2.890.
Disclaimer: Artikel ini disajikan sebagai informasi dan tidak dimaksudkan untuk mengajak pembaca melakukan aksi jual atau beli saham. Setiap keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab pribadi pembaca. Ifonti.com tidak bertanggung jawab atas potensi kerugian atau keuntungan yang mungkin timbul dari keputusan investasi tersebut.
Ringkasan
Kinerja saham blue chip yang tergabung dalam indeks LQ45 cenderung tertinggal dibandingkan IHSG sepanjang tahun ini, dipengaruhi oleh lesunya ekonomi domestik. Meskipun demikian, terdapat optimisme terhadap prospek saham blue chip di masa depan, didorong oleh ekspektasi perbaikan pertumbuhan ekonomi dan valuasi dividen yang menarik dibandingkan obligasi.
Stimulus ekonomi dari pemerintah, percepatan belanja pemerintah, serta penurunan suku bunga diharapkan menjadi katalis positif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini berpotensi meningkatkan daya tarik pasar saham dan mengangkat kinerja saham blue chip, seperti BBCA dan TLKM, yang sebelumnya mengalami underperform.