BI Sebut Kredit Padat Karya Minim, Duit Rp200 Triliun Purbaya Diserap Siapa?

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mengungkapkan kekhawatiran serius terhadap minimnya permintaan kredit perbankan dari industri padat karya. Fenomena ini menghambat laju pertumbuhan kredit nasional yang masih jauh dari target yang ditetapkan oleh bank sentral.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa hingga September 2025, pertumbuhan kredit baru hanya mencapai 7,7% secara tahunan (YoY). Angka ini masih berada di bawah target Bank Indonesia yang membidik pertumbuhan antara 8% hingga 11% untuk sepanjang tahun ini. Perbedaan signifikan terlihat pada sektor-sektor industri, di mana sektor padat modal justru menunjukkan pertumbuhan yang kuat.

Secara lebih rinci, sektor-sektor yang didominasi industri padat modal berhasil mencatatkan pertumbuhan kredit yang impresif per September 2025. Contohnya adalah industri listrik, gas, dan air yang melonjak 23,5% YoY; pertambangan dengan pertumbuhan 19,08% YoY; transportasi dan komunikasi sebesar 16,13% YoY; serta jasa dunia usaha yang naik 4,85% YoY. Kontras yang mencolok terjadi pada sektor-sektor padat karya.

Permasalahan utama terletak pada industri padat karya. Perry Warjiyo memaparkan bahwa hanya sektor jasa sosial yang mampu mencapai pertumbuhan kredit dua digit, yaitu 26,4% YoY per September 2025. Sementara itu, sektor-sektor vital lainnya masih cenderung lesu, seperti pertanian yang hanya tumbuh 3,96% YoY, perdagangan 1,41% YoY, bahkan konstruksi mengalami kontraksi sebesar -2,33% YoY. “Ini juga terpengaruh kondisi ekonomi yang ada. Ini yang menjadi perhatian kami bersama, mari kita dorong kredit,” tegas Perry dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD pada Senin, 16 November 2025.

Perry juga menambahkan bahwa Bank Indonesia bersama otoritas terkait dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terus memantau ketat permasalahan penyaluran kredit ini. Sebagai respons, BI terus berupaya menambah likuiditas dalam sistem perbankan untuk memastikan ketersediaan dana.

Untuk mendukung upaya tersebut, bank sentral telah menyalurkan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) sebesar Rp392,8 triliun. Selain itu, BI juga melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) senilai Rp274 triliun dan menjalankan ekspansi moneter sebesar Rp211 triliun, yang salah satunya dicapai dengan menurunkan posisi Surat Berharga Bank Indonesia (SRBI) dari Rp916,9 triliun menjadi Rp705,6 triliun. “Kalau ditotal-total, kurang lebih Rp800 triliun ditambah Rp200 triliun [penempatan dana di perbankan] dari pemerintah. Jadi likuiditas itu di sektor keuangan cukup berlebih, cuma bagaimana likuiditas di sektor keuangan itu mengalir ke sektor riil,” ungkap Perry.

Perry menegaskan bahwa BI telah menjamin ketersediaan likuiditas dalam sistem perbankan. Kini, fokus pemerintah adalah memastikan likuiditas tersebut benar-benar tersalurkan dari perbankan ke sektor riil melalui instrumen kredit. Hal ini akan didukung oleh berbagai inisiatif, termasuk delapan program paket ekonomi yang baru-baru ini diumumkan, mulai dari program magang untuk lulusan perguruan tinggi hingga program padat karya tunai.

Lebih lanjut, Bank Indonesia juga berperan aktif dalam mendorong penurunan suku bunga deposito dan suku bunga kredit guna mendongkrak permintaan kredit. Caranya adalah dengan memperkenalkan insentif baru KLM. “Insentif likuiditas kami kaitkan seberapa jauh kecepatan bank menurunkan suku bunga; semakin cepat menurunkan suku bunga, semakin banyak insentif likuiditasnya,” jelas Perry.

Insentif baru ini akan mulai berlaku efektif pada 1 Desember 2025 melalui dua jalur. Skemanya akan dihitung berdasarkan elastisitas suku bunga kredit terhadap BI Rate (suku bunga kebijakan). Adapun elastisitas itu dihitung dengan formula: Elastisitas = (% Perubahan Lending Rate) / (% Perubahan BI Rate). Bank dengan nilai elastisitas