Ifonti.com , JAKARTA — Pasar modal Indonesia bermanuver dengan dinamis dalam 4 dekade terakhir. Perjalanan itu diwarnai oleh inovasi transaksi perdagangan saham dan obligasi, peluncuran instrumen investasi baru, pertumbuhan jumlah investor yang signifikan, rekor aksi IPO, serta jatuh bangun IHSG hingga mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Periode 4 dekade dalam tulisan ini dimulai pada 1985 atau bertepatan dengan lahirnya harian Bisnis Indonesia. Sayangnya, tahun 1985 dalam catatan Bursa Efek Indonesia (BEI) masuk ke dalam dalam fase suram pasar modal. Fase yang terjadi sepanjang 1977—1987.
Mengapa dikatakan demikian? Fakta sejarah mencatat bahwa perdagangan di bursa saham pada periode tersebut sangat lesu dengan jumlah emiten tercatat hanya 24 perusahaan hingga akhir 1987. Musababnya, masyarakat lebih memilih instrumen perbankan dibandingkan dengan instrumen pasar modal.
Denyut pasar modal RI baru mulai terasa pada periode 1987 hingga 1990. Diawali oleh hadirnya Paket Desember 1987 (Pakdes 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia.
Katalis lainnya muncul pada 2 Juni 1988 saat Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE) sedangkan organisasinya terdiri atas broker dan dealer. Setahun kemudian atau tepatnya pada 16 Juni 1989, Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta, yaitu PT Bursa Efek Surabaya.
Peran pemerintah dalam hal deregulasi di bidang perbankan dan pasar modal terus diluncurkan sepanjang 1988—1990. Hasilnya, aktivitas bursa terlihat meningkat dan pintu Bursa Efek Jakarta terbuka untuk investor asing.
Pada awal 1990, pemerintah kembali mengeluarkan deregulasi di bidang pasar modal yaitu Keputusan Menteri Keuangan No.1548/ KMK.013/1990. Beleid itu menjelaskan mengubah tugas Bapepam dari pengawas dan penyelenggara bursa menjadi badan pengawas bursa.
Keputusan Menteri Keuangan itu sekaligus menjadi landasan pembentukan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Kliring, dan Penjamin Efek Indonesia (KPEI) serta manajer investasi, sebagai lembaga penunjang pasar modal.
Tonggak penting pasar modal Indonesia pada awal dekade 1990-an terjadi saat Bursa Efek Jakarta diswastanisasi pada 13 Juli 1992. Artinya, pengelolaan BEJ sepenuhnya dilakukan oleh pihak swasta alias swastanisasi. Tanggal itu sekaligus diperingati sebagai hari ulang tahun Bursa Efek Jakarta (BEJ).

Tanggal 30 November 2007 juga menjadi momen bersejarah bagi pasar modal Indonesia. Saat itu, Bursa Efek Surabaya (BES) bergabung dengan Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) dan mulai beroperasi pada 1 Desember 2007.
Merger BES dan BEJ bertujuan untuk meningkatkan kapitalisasi pasar di bursa saham dan meningkatkan jumlah perusahaan tercatat atau emiten. Nama baru PT Bursa Efek Indonesia sekaligus logo baru BEI diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pembukaan perdagangan bursa awal tahun pada 7 Januari 2008. Adapun, posisi Direktur Utama BEI saat itu dijabat oleh Erry Firmansyah.
Di bawah BEI sebagai self regulatory organization (SRO), pasar modal Indonesia terus berkembang. Pasar saham mulai memberlakukan suspensi perdagangan pada 8 Oktober 2008 dan dilanjutkan dengan peluncuran Sistem Perdagangan Baru PT Bursa Efek Indonesia: JATS-NextG pada 2 Maret 2009.
Perkembangan pasar modal Indonesia dipengaruhi oleh pembentukan sejumlah lembaga penting. Pada Januari 2012, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi berdiri.
Kehadiran OJK membuat tugas pengawasan pasar modal beralih sepenuhnya dari Bapepam-LK ke OJK sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Lebih terperinci, pengawasan sektor pasar modal berada di bawah Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon yang saat ini dijabat oleh Inarno Djajadi.
Berikutnya, BEI membentuk Securities Investor Protection Fund (SIPF) pada Desember 2012, PT Pendanaan Efek Indonesia (PEI) pada 2016, dan IDX Incubator pada 2017.
Perkembangan bersejarah lainnya terjadi pada 10 Oktober 2020 saat BEI meluncurkan Electronic Initial Public Offering (e-IPO). E-IPO merupakan sarana elektronik untuk mendukung proses penawaran umum saham perdana kepada publik yang diharapkan dapat menyediakan akses yang luas dan mudah dijangkau bagi investor retail pada khususnya untuk berpartisipasi dalam IPO.
Selanjutnya, perusahaan efek daerah pertama di BEI resmi berdiri, yaitu PT BJB Sekuritas Jawa Barat, pada 27 September 2021. Momen penting lainnya diukir pada 26 September 2023 saat Presiden Joko Widodo meresmikan peluncuran Bursa Karbon. IDXCarbon yang merupakan milestone penting bagi komitmen dekarbonisasi Indonesia menuju Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat.
Inovasi Sistem dan Aturan Perdagangan Saham
Dalam 4 dekade terakhir, sistem dan aturan perdagangan saham mengalami perkembangan yang signifikan. BEJ mengembangkan sistem transaksi perdagangan saham dengan menerapkan Sistem Otomatisasi Perdagangan dengan sistem komputer JATS (Jakarta Automated Trading System) pada 22 Mei 1995.
Sistem itu menjadi cikal bakal Sistem Perdagangan Baru PT Bursa Efek Indonesia: JATS-NextG yang diluncurkan 14 tahun kemudian.
Memulai era 2000an, tepatnya pada 21 Juli 2000, Sistem Perdagangan Tanpa Warkat (Scriptless trading) mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia. Inovasi BEJ berlanjut dengan mengimplementasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading) mulai 28 Maret 2002.
Pada tahun yang sama, BEJ mempercepat penyelesaian transaksi dari T+4 menjadi T+3. Percepatan settlement saham itu diimplementasikan mulai 9 September 2002. Dua tahun setelahnya, ketentuan tentang Stock Option dirilis.
Di sisi perdagangan saham, sejumlah perkembangan yang signifikan terjadi dalam periode 2010—2019. BEI meluncurkan prinsip syariah dan mekanisme perdagangan saham syariah pada 2012.
Pada Januari 2013, BEI melakukan pembaruan jam perdagangan menjadi dimulai pada pukul 09.00 WIB dari sebelumnya 09.30 WIB. Setahun setelahnya atau pada 6 Januari 2014, BEI kembali menyesuaikan Lot Size dan Tick Price. Tick size saham kemudian kembali diubah pada 2016 dilanjutkan dengan penyesuaian kembali batas auto rejection saham.

Selanjutnya, BEI kembali melakukan pembaruan di sisi perdagangan saham kembali digulirkan pada 2017 dengan melakukan relaksasi margin. Mulai 26 November 2018, BEI mempercepat penyelesaian transaksi saham dari T+3 menjadi T+2 settlement yang berlaku hingga saat ini.
Untuk meningkatkan perlindungan investor, BEI memperkenalkan Notasi Khusus pada kode perusahaan tercatat mulai 27 Desember 2018. Saat ini, ada 17 kriteria notasi khusus yang disusun oleh BEI untuk disematkan kepada emiten yang masuk dalam kriteria tertentu, seperti dalam kondisi pailit, dalam perkaras PKPU, dan memiliki ekuitas negatif.
Gebrakan baru di pasar saham kembali dilakukan BEI pada 7 Oktober 2019 dengan meluncurkan Papan Akselerasi. Berdasarkan catatan Bisnis, papan akselerasi diluncurkan dalam rangka mempermudah perusahaan dengan aset berskala kecil dan menengah untuk menggalang dana dan menjadi perusahaan tercatat di BEI.
Meski dibayangi oleh pandemi Covid-19, inovasi perdagangan saham terus bergulir. Salah satunya, BEI meluncurkan kontrak berjangka IDX Futures dan Government Basket Bond Futures pada 7 Desember 2020.
Selanjutnya, BEI meluncurkan klasifikasi saham berdasarkan sektornya Indonesia Stock Exchange Industrial Classification (IDX-IC) untuk menggantikan Klasifikasi Industri Saham Jakarta (JASICA) pada 25 Januari 2021, meluncurkan Papan Ekonomi Baru atau New Economy pada 5 Desember 2022, dan meluncurkan indeks Papan Akselerasi pada 31 Mei 2023.
BEI juga meluncurkan papan pemantauan khusus hybrid pada 12 Juni 2023 dan menerapkan full call auction untuk saham yang masuk dalam Papan Pemantauan Khusus mulai 25 Maret 2024. Tak berhenti di situ, BEI menggelar Grand Launching Single Stock Futures (SSF) pada 12 November 2024.
Performa IHSG dan Catatan Rekor Aksi Korporasi
Dari sisi indikator pasar, indeks harga saham gabungan (IHSG) naik tajam dalam 4 dekade terakhir. IHSG ditutup di angka 82,58 pada 1987, meningkat menjadi 305,12 pada 1988. Di sisi nilai kapitalisasi pasar, terjadi peningkatan dari Rp100,09 miliar (1987) menjadi Rp449,24 miliar (1988). Dalam persentase, IHSG meningkat lebih dari 250% dan kapitalisasi pasar meningkat lebih dari 300%.
Peningkatan yang terjadi pada 1988 terus berlangsung hingga 1989. IHSG pada 1989 meningkat sebesar 30% dibanding 1988, menyentuh posisi 399,69. Selanjutnya, IHSG ditutup meningkat 4% dibanding akhir 1989 ke posisi 417 pada akhir 1990.
Jumlah emiten meningkat menjadi 123 perusahaan pada 1990 dari 61 perusahaan pada 1989 dan 24 perusahaan pada 1988. Kapitalisasi pasar pada 1989 berada pada angka Rp4,3 triliun, meningkat lebih dari 800%.
Pada 1992, kasus pencabutan izin Bank Summa oleh Bank Indonesia turut menggoncang pasar saham yang ditandai oleh anjloknya saham ASII yang berimbas terhadap rontoknya IHSG ke level 274. Pasalnya, Bank Summa merupakan entitas yang terkait dengan keluarga pendiri Astra International, William Soeryadjaya.
Dalam perjalanan 40 tahun terakhir, gerak IHSG tak terlepas dari sentimen berbagai krisis yang berimbas terhadap ekonomi global.
Krisis moneter 1997–1998 memukul ekonomi Indonesia dan berimbas negatif terhadap kinerja IHSG. IHSG jeblok dari posisi 686 pada akhir 1996 ke level 438 pada 1997 dan sempat menyentuh level terendah 398 pada 1998, serta ditutup di level 676 pada 1999.
Tiga tahun berikutnya, IHSG bergerak tertekan di kisaran 300–400 dan baru kembali ke level 600an pada 2003 dan menembus level psikologis 1.000 pada akhir 2004.
IHSG bullish hingga menyentuh level 2.700 pada penghujung 2007 sebelum jeblok ke level 1.355 pada 2008 akibat pasar modal global tersengat sentimen negatif krisis Lehman Brothers. Indeks komposit perlahan bangkit dan mampu menembus level 5.000 pertama kali pada 2013.
Sepanjang 2014—2019, IHSG bergerak di rentang 5.000—6.000 sebelum parkir di posisi 6.299,53 sebelum pandemi Covid-19.
IDX COMPOSITE INDEX – TradingView
Krisis kesehatan yang memicu krisis ekonomi global itu merontokan pasar saham di seluruh dunia pada 2020, tak terkecuali Indonesia. IHSG sempat terjun bebas ke level 3.937 pada 24 Maret 2020 yang merupakan level terendah sejak 2012.
Perdagangan saham pada awal pengumuman pandemi Covid-19 oleh WHO itu sempat menimbulkan kepanikan investor (panic selling) sehingga BEI harus menyalakan alarm trading halt atau penghentian perdagangan sementara akibat IHSG jeblok 5% atau lebih. Pada Maret 2020 itu, trading halt terjadi 6 kali dipicu oleh sentimen pandemi Covid-19 yang menimbulkan market rush.
Beruntung, IHSG mampu perlahan-lahan mendaki dan ditutup di level 5.979 pada 2020. Fase rebound IHSG berlanjut selama periode pandemi Covid-19 dan mampu menembus level psikologis baru 7.000 pada 22 Maret 2022. Pengumuman endemi Covid-19 pada 21 Juni 2023 membawa angin segar bagi pasar saham sehingga IHSG berakhir di level 7.272 pada 2023.
Performa IHSG itu dibarengi oleh langkah BEI melakukan normalisasi jam perdagangan seperti sebelum pandemi Covid-19 mulai 3 April 2023. Berikutnya, pada 4 September 2023, BEI melakukan normalisasi batas auto rejection menjadi simetris.
Optimisme pasar saham terus berlanjut dalam 2 tahun terakhir. IHSG sempat menyentuh level tertinggi 7.905 pada 2024 dan berlanjut dengan rekor-rekor baru berikutnya hingga ke posisi all time high (ATH) 8.710 pada 8 Desember 2025.
Selain rekor IHSG, perjalanan pasar saham dalam 4 dekade terakhir juga diwarnai oleh rekor IPO dan rights issue.
Pada 6 Agustus 2021, PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) resmi menjadi perusahaan tercatat dengan nilai IPO terbesar sepanjang sejarah BEI Rp21,9 triliun sekaligus unikorn pertama yang berstatus sebagai perusahaan publik.
Berikutnya, pada 11 April 2022, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO) melantai di Bursa Efek Indonesia setelah mengantongi dana IPO Rp13,7 triliun. GOTO menjadi emiten pertama yang IPO dengan skema multiple voting shares (MVS). GOTO sekaligus menjadi emiten dengan jumlah saham terbanyak di pasar modal Indonesia.
Adapun, rekor jumlah emiten baru dicetak pada 2023 sebanyak 79 perusahaan. Namun, rekor nilai IPO terbesar dibukukan pada 2021 sebesar Rp62,61 triliun. Per 10 Desember 2025, BEI sudah memiliki 955 perusahaan termasuk 25 emiten baru yang melantai pada tahun ini.

Untuk rights issue, pada September 2021, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) sukses menggelar aksi korporasi berupa penambahan modal dengan skema hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) senilai total Rp95,9 triliun.
Rights issue dilakukan BRI seiring dengan pembentukan Holding Ultra Mikro bersama Pegadaian dan PNM. Total raihan rights issue jumbo BRI terdiri atas Rp54,7 triliun dalam bentuk partisipasi non tunai pemerintah berupa inbreng saham Pegadaian dan PNM, serta Rp41,2 triliun dalam bentuk cash proceed dari pemegang saham publik. Pencapaian tersebut menorehkan sejarah sebagai rights issue terbesar di kawasan Asia Tenggara, peringkat ketiga di Asia, dan nomor tujuh di seluruh dunia.
Di sisi permintaan, jumlah investor pasar modal juga berkembang dengan drastis dalam 40 tahun terakhir. Fase booming justru terjadi di era pandemi Covid-19.
Salah satu peristiwa yang mendorong jumlah investor naik signifikan ialah peluncuran kampanye “Yuk Nabung Saham” pada 12 November 2015.
Di bawah komando Tito Sulistio sebagai Direktur Utama, BEI meluncurkan kampanye tersebut dalam upaya meningkatkan jumlah investor lokal. Melalui “Yuk Nabung Saham’’ masyarakat didorong dan diarahkan untuk menyisihkan sebagian uang sisa belanjanya untuk ditabung dalam bentuk saham. Jika ini dilakukan secara konsisten, terus-menerus dan berskala nasional, diharapkan pertumbuhan jumlah investor akan berjalan lebih cepat dan lebih tinggi.
Saat kampanye “Yuk Nabung Saham” diluncurkan, IHSG berada di posisi 4.593 dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp4.872,7 triliun. Adapun, jumlah investor sebanyak 434.107 pada 2015. Jumlahnya meningkat menjadi 1,1 juta Single Investor Identification (SID) pada akhir 2019.
Milestone jumlah investor diukir pada 3 November 2022 saat pasar modal mencatat jumlah investor secara total menembus 10 juta SID. Pada 10 Agustus 2023, Direktur Utama BEI saat ini yaitu Iman Rachman meluncurkan kampanye baru “Aku Investor Saham”.
Rekor jumlah investor pasar modal kembali dipecahkan pada Januari 2025 ketika jumlah investor pasar modal Indonesia telah mencapai tonggak penting dengan menembus angka 15 juta SID. Hingga akhir Oktober 2025, jumlah investor pasar modal Indonesia semakin dekat dengan angka 20 juta SID, tepatnya telah mencapai 19.154.487 SID.
Ke depan, pasar modal membidik rekor-rekor baru yang mencerminkan pertumbuhan dan akselerasi. Hal itu tentu perlu dibarengi dengan inovasi produk, pembaruan sistem perdagangan, hingga penambahan emiten dan investor. Namun, yang tak kalah penting ialah perlindungan investor dan pasar yang kredibel.
